Awal tahun ajaran baru seringkali penuh harapan, tetapi juga tidak jarang membuat orang tua cemas ketika melihat nilai anak menurun.
Apalagi bagi anak SMP dan SMA, masa transisi ke kelas atau jenjang baru bisa terasa menantang. Guru baru, materi yang lebih sulit, hingga tuntutan tugas yang makin banyak, membuat prestasi akademik mereka sempat goyah.
Namun, nilai yang menurun bukanlah akhir dari segalanya. Justru di momen inilah peran orang tua sangat penting, bukan untuk menambah tekanan, tetapi untuk mendampingi dengan cara yang sehat dan mendukung.
Berikut langkah-langkah praktis yang lebih empatik dan efektif untuk orang tua saat nilai anak turun di tahun ajaran baru.
Mengapa Nilai Anak Bisa Turun di Tahun Ajaran Baru?
Sebelum itu, sebaiknya orang tua tahu dulu apa saja alasan yang bisa membuat nilai anak turun di tahun ajaran baru.
-
Masa Transisi dan Adaptasi Sistem Belajar Baru
Naik kelas atau pindah jenjang pendidikan, seperti dari SMP ke SMA, berarti anak memiliki guru baru, teman baru, standar tugas berbeda, sampai tata tertib dan budaya sekolah yang belum familiar.
Riset menunjukkan, periode transisi ke jenjang lebih tinggi memang kerap berkorelasi dengan penurunan capaian akademik sehingga anak masih mencari “ritme” barunya.
-
Kurang Tidur dan Jam Masuk yang Lebih Pagi
Remaja punya pola biologis yang cenderung tidur larut dan bangun lebih siang. Bila sekolah masuk sangat pagi, tidur mereka berkurang dan ini memengaruhi fokus, memori, motivasi, dan nilai.
Akademi Pediatri Amerika menegaskan hubungan kuat antara kurang tidur karena jam masuk terlalu pagi dan penurunan performa akademik.
-
Beban Tugas Meningkat
Di jenjang lebih tinggi, anak harus mengelola kegiatan, memprioritaskan tugas, dan belajar mandiri. Tanpa strategi, fungsi eksekutif, seperti mengatur waktu, fokus, dan inisiatif, anak bisa kewalahan dan nilai ikut terdampak.
-
Tekanan dan Ekspektasi yang Terlalu Tinggi
Dukungan orang tua itu penting, tetapi ekspektasi yang melampaui realitas justru menurunkan performa. Penelitian psikologi menemukan, aspirasi orang tua yang “kelewat tinggi” dapat berbalik efeknya.
Pendekatan yang Tidak Membuat Anak Tertekan, Plus Contohnya
Setelah mengetahui alasannya, berikut adalah pendekatan yang bisa dilakukan orang tua, tanpa membuat anak tertekan.
-
Mulai dari Hubungan, Bukan dari Nilai
Alih-alih langsung menginterogasi, mulai dengan percakapan yang hangat, seperti “Gimana rasanya masuk tahun ajaran baru? Bagian mana yang paling seru?”
UNICEF menyarankan orang tua membangun ruang aman untuk mengobrol rutin soal perasaan dan keseharian anak.
Orang tua bisa menjadwalkan “15 menit ngobrol santai” tiap malam setelah makan. Tidak ada ceramah, hanya mendengar. Catat hal yang membuat anak antusias hingga yang membuatnya jengkel selama seminggu pertama.
-
Validasi Transisi
Sampaikan pada anak bahwa adaptasi memang membutuhkan waktu. Tanyakan perubahan apa yang paling terasa, seperti guru, materi, cara ujian, atau ritme tugas. Dengan menormalisasikan perubahan, ini akan menurunkan kecemasan anak sehingga dia lebih siap menghadapinya.
Misalnya, saat melihat nilai ulangan Matematika anak jelek, orang tua bisa bilang, “Nggak apa-apa. Wajar kalau nilai Matematika kamu belum stabil, soalnya materinya kan beda. Yuk, mau Mama bantu ajarkan?”
-
Fokus ke Proses dan Strategi
Ubah bahasa pujian dari “Kamu memang pintar” menjadi “Strategi kamu waktu ngerjain latihan fungsi kuadrat bagus, terutama langkah memecah soal.” Pujian ini mengaitkan hasil dengan usaha dan taktik, bukan label bawaan.
Contohnya, saat anak mendapat nilai yang tidak memuaskan, orang tua dapat bertanya, “Bagian mana saja yang kamu kuasai? Apa strategi yang mau kamu coba di ulangan berikutnya?”
4. Kalibrasi Ekspektasi Orang Tua
Bedakan dukungan dan overaspirasi. Memberikan target menantang untuk anak boleh saja, tetapi perlu realistis dan bertahap. Jangan langsung berikan target “harus rangking 1 semester ini”, padahal anak masih ngos-ngosan belajar.
Penelitian menemukan, ekspektasi yang terlalu melampaui kemampuan anak saat ini bisa menurunkan capaian mereka.
-
Perbaiki Waktu Tidur dan Energi Anak
Cek jam tidur anak. Untuk remaja, idealnya mereka butuh sekitar 8 – 10 jam tidur di malam hari. Pastikan anak mendapatkan waktu tidur tersebut karena kurang tidur terbukti menurunkan atensi dan performa.
Jadi, kalau jam sekolah anak sangat pagi, bantu atur rutinitas malam, seperti matikan gadget lebih awal dan siapkan tas seragam sebelum tidur.
-
Ajari Keterampilan “Executive Function” Langkah Demi Langkah
Kebanyakan anak belum otomatis bisa mengelola waktu atau tugas sekolah. Ajarkan alat bantu sederhana, seperti memiliki kalender tugas, to-do-list harian maksimal tiga prioritas, teknik Pomodoro, dan “pecah proyek besar jadi potongan 20–30 menit”.
Semua keterampilan tersebut bisa dilatih dan jika dilakukan dengan baik, bisa berdampak ke nilai.
-
Tetap Jaga Kesejahteraan Mental Anak
Anak yang merasa didengar, punya relasi hangat di rumah, dan punya waktu rehat cenderung lebih siap belajar. UNICEF menekankan pentingnya dukungan emosional konsisten dari orang tua.
Daripada menyuruh anak untuk terus belajar, orang tua bisa menerapkan “hari bebas nilai” seminggu sekali dengan tidak membahas nilai dan hanya merayakan upaya, misalnya “konsisten belajar 3 kali minggu ini”, dan juga hal-hal nonakademik yang membuat anak bahagia.
Bila perlu, pertimbangkan pendampingan ringan untuk anak. Bukan bimbel intens yang menambah stres, melainkan study buddy atau tutor 1:1 untuk mata pelajaran topik spesifik. Tujuannya adalah membangun strategi belajar anak, bukan memberikan beban tambahan.
Jadi, nilai turun di awal tahun ajaran baru bukan akhir dari segalanya. Dengan pendekatan yang ramah, fokus pada proses, penguatan kebiasaan belajar, dan komunikasi yang sehat, anak bisa “menemukan ritmenya” lagi tanpa tekanan berlebihan.
~Febria