Belakangan ini masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kabar meninggalnya Muhammad Athaya Helmi Nasution, mahasiswa Indonesia berusia 18 tahun yang sedang kuliah di Belanda.
Ia dilaporkan meninggal saat mendampingi rombongan pejabat Indonesia dalam kunjungan ke Wina, Austria, pada akhir Agustus 2025. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar:
Mengapa mahasiswa bisa diminta mendampingi pejabat? Siapa yang bertanggung jawab? Sebenarnya bagaimana aturan atau perlindungan untuk mahasiswa dalam situasi seperti ini?
Berikut penjelasannya.
Mengapa Pejabat Minta Bantuan Mahasiswa di Luar Negeri?
Meskipun tidak ada aturan resmi yang mewajibkan, praktik melibatkan mahasiswa Indonesia di luar negeri untuk mendampingi pejabat memang sering terjadi. Ada beberapa alasannya, yaitu:
- Mahasiswa dianggap “pemandu lokal” karena mereka tinggal di sana dan paham bahasa, transportasi, serta budaya setempat.
- PPI atau Perhimpunan Pelajar Indonesia sering dijadikan jaringan informal untuk membantu penyambutan pejabat.
- Biaya lebih efisien dibanding membawa tim pendamping dari Indonesia.
- Kadang mahasiswa mau ikut secara sukarela karena dianggap pengalaman atau bentuk kontribusi ke negara.
Namun, masalahnya ini sering dilakukan tanpa kontrak tertulis atau perlindungan hukum yang jelas. Di sinilah celah bahaya muncul.
Kronologi Kasus Athaya
Berdasarkan keterangan dari PPI dan pemberitaan media seperti Detik News, Media Indonesia, Tempo.co, berikut adalah kronologi meninggalnya Athaya.
Awalnya, Athaya menjadi pendamping atau liaison untuk rombongan pejabat Indonesia yang terdiri dari perwakilan DPR, OJK, dan Bank Indonesia. Tugas yang dilakukannya diduga seharian penuh dari pagi sampai malam, dalam cuaca panas, tanpa istirahat cukup.
Karena hal ini, Athaya disebut mengalami heatstroke atau sengatan panas hingga akhirnya meninggal. Namun, yang menjadi sorotan adalah panitia acara, baik pihak EO atau LO, disebut tetap melanjutkan acara, meski kondisi Athaya sudah memburuk.
PPI Belanda juga menyatakan bahwa tidak ada kontrak, asuransi, atau perlindungan bagi Athaya saat bertugas. Setelah kejadian, jenazah dipulangkan ke Indonesia. Namun keluarga dan publik mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab penuh atas kejadian ini.
Sebenarnya Apa Aturannya?
Inilah yang menjadi masalah utama, yaitu tidak ada aturan khusus dari pemerintah Indonesia yang mengatur peran mahasiswa sebagai pendamping pejabat luar negeri.
Secara hukum, bila seseorang bekerja atau bertugas mendampingi pejabat, harusnya ada kontrak tertulis, perlindungan kesehatan, dan asuransi kerja. Namun dalam kasus seperti ini, mahasiswa sering hanya dianggap relawan, padahal tugasnya berat seperti tenaga profesional.
Karena itulah setelah kejadian ini PPI Belanda mengeluarkan sikap resmi, yaitu menolak keras permintaan pendampingan pejabat jika tidak ada perlindungan hukum.
Selain itu, banyak pihak menuntut agar Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pendidikan membuat aturan baru. Jika pejabat ingin memakai tenaga mahasiswa, harus ada kontrak resmi, jam kerja jelas, hak istirahat, dan asuransi.
Pelajaran untuk Orang Tua dan Mahasiswa
Bagi orang tua yang anaknya ingin kuliah di luar negeri, kasus ini menjadi pengingat penting. Pertama, jangan hanya bangga kalau anak “dilibatkan pejabat”, tetapi pastikan ada perlindungan hukum dan kesehatan.
Lalu, jika anak diminta jadi pendamping acara, tanyakan dulu ada kontraknya atau tidak, bahkan tanyakan juga ada asuransinya atau tidak. Jika tidak, jangan ragu untuk menolaknya.
Terakhir, jangan mudah terpancing dengan kalimat “ini demi negara”. Membantu boleh, tetapi pastikan keselamatan tetap nomor satu.
Kasus Athaya ini bukan hanya tragedi pribadi, tetapi juga tamparan keras bahwa semangat “bantu pejabat” tidak boleh mengorbankan nyawa mahasiswa. Negara seharusnya hadir melindungi mahasiswa, bukan hanya saat butuh bantuan mereka.
~Febri