Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA akan Diberlakukan Lagi! Disebut Penting untuk TKA dan Kemampuan Siswa saat Kuliah

Share

Setelah sempat dihapuskan pada era Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) 2019 – 2024 Nadiem Makarim, tahun ini penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA akan kembali diberlakukan.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyebut bahwa kementerian memiliki alasan kuat untuk melakukannya, yaitu untuk menunjang pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN).

Saat menjalani TKA nanti, pembahasan yang nantinya akan diujikan adalah pelajaran yang biasanya dipelajari para siswa. Untuk itulah Mu’ti menilai bahwa penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA perlu diadakan kembali.

“Dalam TKA itu nanti mulai itu ada tes yang wajib yaitu Bahasa Indonesia dan Matematika itu wajib untuk mereka yang ngambil IPA, itu nanti dia boleh memilih tambahannya antara Fisika, Kimia atau Biologi,” jelasnya.

Sementara untuk jurusan IPS, siswa boleh memilih tambahan mata pelajaran ekonomi, sejarah, atau ilmu lain yang serumpun. Begitu juga dengan jurusan Bahasa. Untuk itulah pentingnya penjurusan di SMA yang bisa menjadi landasan untuk lanjut ke perguruan tinggi.

Mu’ti juga mengatakan, ”Dengan cara seperti itu, maka kemampuan akademik seseorang akan menjadi landasan ketika melanjutkan ke perguruan tinggi ke jurusan tertentu, itu bisa dilihat dari nilai kemampuan akademiknya.”

Hilangnya Penjurusan Dikeluhkan Para Dosen

Dalam waktu dekat, kebijakan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa ini akan segera direalisasikan melalui peraturan menteri. Dengan aturan tersebut, maka aturan sebelumnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 otomatis akan gugur.

Sebagai informasi, Permendikbudristek No 12/2024 dikeluarkan untuk mengatur tentang kurikulum pada pendidikan anak usia dini, jenjang pendidikan dasar, dan jenjang pendidikan menengah. Termasuk di sana adalah penghapusan penjurusan di SMA.

Mu’ti mengaku tidak asal dalam mengembalikan peraturan ini. Ia bercerita bahwa dirinya mendapatkan masukan dari Forum Rektor Indonesia dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini.

Salah satu keluhan yang banyak diberikan oleh para pengajar di perguruan tinggi adalah banyak mahasiswa baru diterima di program studi yang tidak sesuai dengan kemampuan akademiknya selama di SMA.

Misalnya saja, ada mahasiswa yang saat SMA sebenarnya lebih banyak belajar mata pelajaran IPS, tetapi diterima di fakultas kedokteran karena diperbolehkan untuk mendaftar di sana. Ini tentu saja bisa “menyesatkan” dan membuat mahasiswa baru tersebut kesulitan menjalani kuliah karena ilmunya belum pernah dipelajarinya selama SMA.

Namun, Mu’ti menegaskan bahwa perubahan kebijakan yang dilakukannya mengenai penjurusan di SMA ini bukan karena masalah personal dengan mantan Mendikbud Ristek. Ia memutuskannya karena kebutuhan keberlanjutan di setiap jenjang pendidikan yang berpengaruh pada masa depan siswa.

”Jadi, bukan persoalan yang dulu keliru atau tidak. Kepentingannya adalah memberikan kepastian dan landasan bagi para pengambil kebijakan berdasarkan tes kemampuan akademik,” tambahnya.

Banyak yang Mendukung

Keputusan Mu’ti untuk mengembalikan penjurusan di SMA didukung oleh Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi. Menurutnya, ini langkah tepat karena ia berpendapat siswa masih perlu memiliki ilmu pengetahuan yang baik sebelum mendalami ilmu tertentu.

Meskipun ia mengakui bahwa siswa yang menguasai semua ilmu itu baik, tetapi jika itu membuat siswa justru tidak siap untuk belajar lebih lanjut di bangku pendidikan tinggi, ini malah bisa membuatnya hanya sedikit atau bahkan tidak mendapatkan ilmu apa-apa.

Menurutnya, dengan diadakannya kembali penjurusan IPA, IPS dan Bahasa, siswa akan memiliki ilmu sesuai dengan minatnya sehingga bisa mendukungnya mempelajari ilmu yang ingin menjadi keahliannya.

Hal serupa disebutkan juga oleh pakar pendidikan, Heriyanto. Bahkan, ia berpendapat bahwa kebijakan penghapusan jurusan di SMA sebenarnya tidak bisa diterapkan secara baik. Ini justru membuat ada mata pelajaran dasar yang terhapuskan, padahal penting untuk membuat siswa memahami peminatannya.

“Dengan contoh, jika siswa yang memilih kedokteran dapat melepaskan fisika, dan konsentrasi pada biologi dan kimia. Namun persoalan yang sering muncul adalah ketika pilihan profesi siswa bisa saja berubah di kelas XII menjadi teknik, sedangkan dalam 2 atau 3 semester sebelumnya mereka tidak mempelajari fisika,” jelasnya.

Berdasarkan pengalamannya, Guru di SMA Pangudi Luhur II Servasius Bekasi Ignasius Sudaryanto menyebut bahwa kebijakan penghapusan jurusan malah membuat siswa bingung. Ini karena siswa masih belum yakin dengan mata pelajaran peminatan yang diambilnya.

Tak hanya siswa, pihak sekolah juga menemukan kesulitan dalam membagi jam mengajar guru karena ada mata pelajaran yang peminatnya sedikit sehingga guru kurang jam mengajar.

Masalah tersebut tentu saja berdampak juga pada penghasilan guru karena mereka harus memenuhi jumlah jam mengajar tertentu untuk mencairkan Tunjangan Profesi Guru (TPG) atau sertifikasi.

Apa Komentar Guru dan Siswa?

Ketua Umum Federasi Serikat Guru Indonesia, Fahmi Hatib, mengatakan keputusan Mu’ti terlalu tergesa-gesa. Ini karena kurikulum merdeka yang diinisiasi oleh menteri sebelumnya belum terlihat hasilnya sehingga tak ada alasan kuat untuk mengubahnya.

Namun, jika memang pemerintah benar-benar serius ingin kembali memberlakukan sistem penjurusan di SMA, ia meminta agar pelabelan maupun favoritisme antara ketiga jurusan itu dihilangkan.

Terutama mengenai kualitas guru dan menyediakan sarana-prasarana yang dibutuhkan oleh jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Jangan sampai seperti dulu dengan mayoritas sekolah yang lebih mengutamakan sarana-prasarana berupa laboratorium untuk jurusan IPA, sedangkan jurusan IPA dan Bahasa seperti dilupakan.

“Padahal semestinya IPS juga dibuatkan lab khusus. Begitu juga Bahasa agar mereka memahami multifungsi bahasa. Misalnya anak IPS untuk menganalisa ekonomi bisa bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk memahami situasi keuangan nasional,” ujarnya.

Siswa kelas X sebuah SMA di Jakarta, Ryu juga memiliki pendapat yang sama. Ia berharap fasilitas pembelajaran yang disediakan untuk tiap-tiap jurusan nantinya sama.

Selain itu, ia juga tidak terlalu menyukai kurikulum merdeka karena membuatnya menjadi terlalu santai, bahkan terasa seperti “tidak belajar” karena terlalu banyak waktu habis untuk pelajaran P5 atau Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, yang berlangsung selama tiga hari dan dilakukan di empat jam pelajaran terakhir.

Ryu berpendapat bahwa kembalinya penjurusan di SMA sangat bagus karena nantinya ia bisa sekelas dengan orang-orang yang memang menyukai pelajaran yang dipelajarinya.

Jadi, kita tunggu saja kapan pemerintah akan benar-benar menerapkan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA. Semoga saja ini membuat siswa lebih lebih dalam belajar, bukan sebaliknya.

~Febria

Lihat Artikel Lainnya

Scroll to Top
Open chat
1
Ingin tahu lebih banyak tentang program yang ditawarkan Sinotif? Kami siap membantu! Klik tombol di bawah untuk menghubungi kami.