Tren Underconsumption Core, Gaya Hidup Hemat Pilihan Anak Muda

Share

Di tengah banyaknya tren dan produk baru bermunculan setiap hari dan budaya konsumtif yang sering kita temui di media sosial, muncul sebuah tren baru yang justru mendorong kebalikan dari itu semua. Tren ini dikenal dengan nama underconsumption core. 

Sesuai namanya, gaya hidup ini mendorong seseorang untuk mengurangi konsumsi yang tidak perlu dan memilih hidup lebih sederhana, fungsional, dan hemat.

Menariknya, tren ini mulai populer di kalangan anak muda, terutama Gen Z dan Milenial. Mereka bukan hanya sekadar ingin berhemat, tapi juga sedang membangun kesadaran baru soal pengelolaan keuangan, keberlanjutan, dan tekanan sosial yang datang dari budaya “pamer” di dunia digital. Lantas, apa itu underconsumption core sebenarnya?

Mengenal Tren Underconsumption Core

Underconsumption core bisa diartikan sebagai gaya hidup yang menekankan minimnya konsumsi berlebihan, baik dalam hal belanja barang, gaya hidup, hingga penggunaan teknologi.

Tren ini berkembang sebagai bentuk reaksi dari overconsumption yang selama ini jadi ciri khas generasi digital. Kalau dulu orang berlomba-lomba menunjukkan barang yang dimiliki, kini mulai banyak yang merasa lebih nyaman untuk tidak selalu membeli dan tidak perlu selalu terlihat “update”.

Jadi, seperti apa kehidupan orang yang menjalani underconsumption core? Berikut beberapa ciri khas dari gaya hidup ini:

  • Menghindari belanja impulsif
  • Meminimalisir penggunaan fast fashion
  • Menggunakan barang sampai habis atau rusak
  • Lebih memilih barang multifungsi dan berkualitas jangka panjang
  • Menghindari gaya hidup konsumtif demi konten media sosial
  • Lebih sering menabung daripada belanja
  • Menghindari diskon besar-besaran jika memang tidak butuh
  • Tidak terpancing tren atau FOMO
  • Tidak ganti HP atau gadget jika masih berfungsi
  • Tidak gengsi tampil simpel atau minimalis

Mengapa Tren Ini Jadi Populer?

Gaya hidup ini tidak berarti pelit atau tidak boleh menikmati hidup. Sebaliknya, ini adalah bentuk kesadaran diri tentang apa yang benar-benar penting dan berguna dalam hidup sehari-hari. Di balik tren ini, ada beberapa alasan yang mendasarinya seperti berikut: 

1. Kesadaran Finansial

Banyak anak muda mulai sadar akan pentingnya mengelola keuangan sejak dini. Kebutuhan hidup makin banyak, harga makin naik, dan beban finansial seperti cicilan, biaya hidup, dan tabungan masa depan mulai terasa. Mereka pun mulai memilih untuk lebih bijak dalam berbelanja dan memprioritaskan hal-hal yang esensial saja. Underconsumption core menjadi cara untuk lebih fokus pada kebutuhan dibanding keinginan.

2. Lelah dengan Tekanan Sosial

Budaya “harus selalu tampil sempurna” di media sosial bisa menimbulkan tekanan. Harus pakai outfit yang keren, nongkrong di tempat estetik, dan beli gadget terbaru, semuanya bisa membuat stres. Banyak anak muda akhirnya merasa lelah dan memilih untuk tidak ikut dalam perlombaan konsumsi ini. Mereka ingin bebas dari tekanan untuk selalu terlihat “kaya” atau “trendy”.

Tren ini juga membawa angin segar, karena menyuarakan bahwa tidak apa-apa tampil biasa saja, tidak harus punya semuanya, dan bahwa kebahagiaan tidak selalu diukur dari jumlah barang yang dimiliki.

3. Isu Keberlanjutan dan Lingkungan

Underconsumption core juga erat kaitannya dengan gaya hidup ramah lingkungan. Mengurangi konsumsi berarti juga mengurangi limbah. Misalnya, tidak sering beli baju baru berarti membantu mengurangi limbah tekstil. Semangat ini sejalan dengan gerakan zero waste, slow fashion, dan gaya hidup berkelanjutan lainnya.

Semakin banyak anak muda yang menyadari bahwa konsumsi berlebihan bukan hanya berdampak pada dompet, tapi juga pada bumi. Pilihan mereka untuk hidup lebih sederhana menjadi bentuk kontribusi terhadap masa depan yang lebih hijau.

4. Pandemi dan Krisis Ekonomi

Pandemi COVID-19 dan berbagai krisis ekonomi yang menyertainya telah mengubah cara pandang banyak orang tentang uang dan prioritas hidup. Banyak yang menyadari bahwa stabilitas dan keamanan finansial lebih penting daripada sekadar tampil glamor. Pola pikir ini berlanjut bahkan setelah pandemi mereda.

Tren underconsumption menjadi semacam bentuk refleksi dari pengalaman kolektif saat krisis, bahwa hidup ternyata bisa berjalan meski dengan pengeluaran minimal, dan bahwa banyak barang yang dulu dianggap “penting” ternyata bisa dihilangkan.

5. Perpindahan Nilai dan Prioritas Hidup

Dulu, kepemilikan barang sering kali dianggap sebagai simbol keberhasilan. Tapi kini, semakin banyak orang yang merasa bahwa waktu, kesehatan mental, dan relasi sosial jauh lebih berharga daripada barang-barang material. Gaya hidup underconsumption mencerminkan pergeseran nilai ini.

Orang-orang mulai mencari cara hidup yang lebih tenang, tidak terbebani dengan cicilan, dan tidak selalu merasa tertinggal oleh tren. Ini adalah bentuk perlawanan halus terhadap tekanan ekonomi dan sosial yang kian kompleks.

Tren underconsumption core hadir sebagai respons terhadap budaya konsumtif yang selama ini dianggap normal. Bagi banyak anak muda, tren ini bukan sekadar soal “hemat uang”, tapi juga soal menjaga kesehatan mental, membangun stabilitas finansial, dan menciptakan hidup yang lebih sadar dan bermakna.

Hidup minimalis bukan berarti hidup kekurangan. Justru dengan mengurangi yang tidak penting, kita bisa lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar memberi nilai: waktu, relasi, dan ketenangan hidup.

~Afril

Lihat Artikel Lainnya

Scroll to Top
Open chat
1
Ingin tahu lebih banyak tentang program yang ditawarkan Sinotif? Kami siap membantu! Klik tombol di bawah untuk menghubungi kami.