Saat membuka media sosial, kita akan terpapar pada konten-konten orang yang sedang mempromosikan produk atau barang yang mereka suka.Â
Ada banyak sekali produk yang dipromosikan di media sosial. Dari mulai produk kecantikan, kesehatan, gadget, game, aksesoris, mainan, tiket konser, paket liburan, produk fashion, dan lain sebagainya. Ini biasa kita sebut sebagai influencing dan orang-orang yang mempromosikan barang biasa dikenal dengan istilah influencer.Â
Namun, belakangan ini, ada tren baru yang muncul di media sosial yang cukup menarik perhatian banyak orang, terutama generasi muda. Tren ini disebut de-influencing.
Apa sih sebenarnya de-influencing dan apa pengaruhnya bagi kita sebagai pengguna media sosial? Yuk, pahami lebih lanjut tentang tren ini!Â
Apa Itu De-influencing?
Pada dasarnya, de-influencing adalah kebalikan dari influencing. Jika influencing adalah ketika seseorang merekomendasikan suatu produk atau layanan untuk dibeli, maka de-influencing justru mengajak orang untuk tidak membeli sesuatu yang dianggap tidak perlu atau tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.Â
Bisa dibilang, ini adalah ajakan untuk lebih bijak dalam memilih barang yang akan dibeli dan tidak terbawa tren konsumtif yang sering kali datang dari pengaruh influencer.
Misalnya, seorang influencer di media sosial mungkin menunjukkan sebuah gadget atau aksesoris fashion yang sedang tren, tapi di sisi lain, ada juga influencer yang mengajak pengikutnya untuk berpikir ulang apakah produk tersebut benar-benar diperlukan, atau apakah ada alternatif yang lebih baik dan lebih terjangkau.Â
Dengan kata lain, de-influencing mendorong orang untuk lebih selektif dalam memilih barang yang mereka beli.
Ada beberapa alasan mengapa tren de-influencing bisa begitu populer, terutama di kalangan remaja dan pelajar.
Tidak Semua Tren Harus Diikuti
Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering melihat orang-orang membeli barang hanya karena ikut tren atau karena pengaruh dari orang lain di media sosial. Banyak barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, tapi karena banyak orang mempromosikan, kita jadi merasa harus ikut punya.
Nah, tren de-influencing hadir untuk mengingatkan kita bahwa tidak semua barang yang kita lihat di media sosial itu benar-benar penting dan harus dimilikki.
Peningkatan Kesadaran Lingkungan
Banyak orang kini mulai peduli dengan dampak konsumsi barang terhadap lingkungan. Belanja berlebihan atau terus-menerus mengikuti tren bisa menyebabkan banyak sampah, terutama produk yang cepat rusak atau jarang digunakan.Â
Oleh karena itu, banyak influencer yang mempromosikan ide untuk membeli barang dengan lebih bijak, bahkan memilih untuk membeli barang bekas atau lebih ramah lingkungan.
Pengaruh Media Sosial
Media sosial bisa sangat memengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. Ketika kita melihat teman-teman atau orang yang kita ikuti terus-menerus membeli barang baru, kita bisa merasa tertantang untuk melakukan hal yang sama.Â
Namun, semakin banyak orang yang sadar bahwa tidak semua yang dipromosikan itu sesuai dengan kebutuhan pribadi mereka dan ini menciptakan tren de-influencing sebagai upaya untuk melawan tekanan sosial tersebut.
Keinginan untuk Lebih Authentic
Banyak orang sekarang merasa lelah dengan konten yang terlalu disaring dan tidak realistis. Mereka ingin mendengar cerita yang lebih jujur, termasuk saat membahas produk.Â
Dalam de-influencing, para influencer berbicara tentang pengalaman nyata mereka, mengakui bahwa terkadang barang-barang yang dipromosikan sebenarnya tidak sebagus yang dibayangkan atau malah tidak berguna sama sekali. Ini memberi kesan lebih jujur dan otentik bagi audiens.
Pengaruh Positif Tren De-influencing
Bagi kita sebagai pengguna media sosial, tren de-influencing bisa membawa dampak yang cukup besar. Salah satu dampak positif dari de-influencing adalah mengajarkan kita untuk lebih bijak dalam memilih barang.Â
Alih-alih membeli sesuatu hanya karena banyak orang yang mengiklankannya, kita bisa lebih mempertimbangkan apakah barang tersebut benar-benar kita butuhkan atau tidak.
Ketika kita terlalu sering terpapar iklan produk di media sosial, kita bisa merasa tertekan untuk membeli barang-barang tersebut agar bisa mengikuti gaya hidup orang lain. Dengan adanya tren de-influencing, kita bisa merasa lebih tenang karena tidak ada lagi tekanan untuk membeli sesuatu hanya demi memenuhi ekspektasi orang lain.
Tren ini juga bisa membuat kita tidak konsumtif. De-influencing membantu kita untuk berhenti sebentar dan berpikir apakah membeli barang baru benar-benar diperlukan. Ini bisa membantu kita mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan fokus pada hal-hal yang lebih penting, seperti pengalaman atau kebutuhan yang lebih mendasar.
De-influencing membantu kita untuk lebih kritis dalam menerima informasi dan membuat keputusan, terutama dalam hal membeli barang.
Sebagai pelajar atau pengguna media sosial, kita bisa menghadapi tren de-influencing dengan cara yang positif. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan:
- Sebelum membeli sesuatu, coba tanyakan pada diri sendiri apakah barang tersebut benar-benar dibutuhkan, atau hanya karena tergoda dengan tren sesaat.
- Jika kamu melihat konten yang mendorong untuk lebih bijak dalam berbelanja atau mengajak untuk hidup lebih sederhana, beri dukungan. Dengan itu, kamu bisa membantu menyebarkan pesan positif.
- Cobalah untuk membeli barang yang memang berguna atau lebih ramah lingkungan. Kalau bisa, pilih barang yang bisa dipakai lama atau barang bekas yang lebih terjangkau.
Meski masih baru, tapi tren ini bisa jadi langkah positif untuk menuju kebiasaan yang lebih sehat dan bijak dalam menggunakan media sosial dan berbelanja. Dengan memahami tren ini, kita bisa lebih menikmati pengalaman di media sosial tanpa merasa tertekan untuk membeli barang yang tidak kita butuhkan. Jadi, yuk, mulai lebih selektif dalam memilih dan membeli barang!
~Afril