Bayangkan anak remaja curhat, tertawa, bahkan merasa dimengerti oleh “teman”-nya. Namun, ini bukan teman sekolah atau bahkan teman di media sosial, melainkan oleh sebuah aplikasi di ponsel.
Meski kedengarannya aneh dan juga agak mengkhawatirkan, faktanya hal ini sudah menjadi bagian nyata dari kehidupan banyak remaja saat ini.
Sebuah laporan terbaru dari Common Sense Media menemukan bahwa 72% remaja pernah menggunakan “teman AI” atau chatbot. Lebih mengejutkan lagi, sekitar sepertiga dari mereka mengaku punya hubungan dekat, bahkan persahabatan, dengan AI tersebut.
Mengapa bisa begitu? Jawabannya cukup sederhana, yaitu karena rasa penasaran, hiburan, dan tentu saja kesepian.
Apa Itu Teman AI?
Banyak orang tua masih bingung, apa sebenarnya yang dimaksud dengan teman AI. Bukankah itu sama saja dengan chatbot atau asisten digital seperti Siri atau Google Assistant?
Ternyata tidak persis. Chatbot biasanya dipakai untuk hal-hal praktis, misalnya sana menanyakan arah, cek cuaca, atau bantu layanan pelanggan. Mereka lebih formal, singkat, dan tidak menyimpan percakapan lama.
Sedangkan AI companion atau teman AI dirancang lebih personal. Mereka bisa mengingat percakapan, menyesuaikan gaya bicara, bahkan meniru empati. Sederhananya, mereka dibuat untuk meniru peran seorang teman yang bisa mendengar curhat, memberikan dukungan emosional, bahkan menjalin “hubungan.”
Inilah yang membuat teknologi tersebut berbeda. Untuk anak atau remaja yang sedang butuh teman ngobrol, AI bisa terasa seperti tempat curhat yang selalu ada dan tidak pernah menghakimi.
Mengapa Remaja Suka Menggunakan Teman AI?
Ada berbagai alasan mengapa anak tertarik. Tidak semuanya buruk, tetapi orang tua perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi.
-
Rasa Penasaran dan Hiburan
Banyak anak mencoba teman AI karena sekadar penasaran. Rasanya seru bisa mengobrol dengan “robot” yang jawabannya terdengar pintar, ramah, dan selalu tersedia.
-
Kesepian
Menurut survei, 21% remaja usia 13 – 17 tahun merasa kesepian. Di tengah dunia digital yang penuh tekanan, teman AI sering jadi solusi cepat. Dengan beberapa kalimat saja, AI bisa tampak seperti “sahabat lama” yang sudah sangat mengenal mereka.
-
Butuh Kenyamanan dan Pengakuan
Masa remaja penuh dengan emosi naik-turun. AI teman seringkali memberikan validasi yang selalu setuju, selalu mendukung, selalu memberi perhatian pada anak. Itu terasa sangat menyenangkan bagi anak yang sedang mencari pengakuan.
-
Tidak Menghakimi
Berbeda dengan teman sebaya atau orang tua, AI tidak akan marah, mengejek, atau menolak. Itulah sebabnya sebagian remaja merasa lebih nyaman curhat kepada AI daripada kepada manusia.
Risikonya yang Bisa Diraskan Anak
Meski terdengar aman, ada banyak sisi gelap yang perlu diwaspadai orang tua.
-
AI Tidak Punya Perasaan Sebenarnya
Meski terlihat empatik, AI sebenarnya hanya algoritma. Mereka tidak benar-benar peduli. Namun, remaja bisa salah paham dan menganggap hubungan ini nyata.
-
Sulit Membedakan Realita
Banyak anak mulai menganggap AI seperti manusia sungguhan. Sebuah studi menunjukkan 90% siswa pengguna aplikasi Replika menganggap AI itu “mirip manusia.” Padahal, ini bisa membuat mereka bingung antara hubungan nyata dan buatan.
-
Berisiko Menyampaikan Nasihat Buruk
AI terkadang bisa “berhalusinasi” atau salah memberikan saran. Kasus tragis bahkan pernah terjadi pada seorang remaja berusia 14 tahun di luar negeri yang bunuh diri setelah berhubungan intens dengan chatbot. Ada juga kasus bot yang menyarankan remaja untuk melakukan kekerasan kepada orang tuanya.
-
Paparan Konten Tidak Pantas
Beberapa platform AI tidak punya filter yang cukup ketat. Artinya, anak bisa terpapar konten dewasa, sugestif, atau bahkan berbahaya.
-
Menghambat Keterampilan Sosial
Kalau terlalu sering berinteraksi dengan AI, anak bisa merasa “sudah pintar ngobrol.” Namun, ketika bertemu orang sungguhan, mereka bisa kaget karena ternyata komunikasi nyata lebih rumit. Ini karena ada perbedaan pendapat, emosi, dan nuansa yang tidak bisa ditiru AI.
Dampaknya bagi Psikologi Anak
Bagi otak remaja yang sedang berkembang, teman AI bisa jadi jebakan halus. Meski anak merasa aman dan dimengerti, tetapi itu semua semu. Lama-kelamaan, anak bisa merasakan hal berikut:
- Terlalu bergantung secara emosional pada AI.
- Kesulitan membedakan empati palsu dengan empati nyata.
- Salah menafsirkan respons AI sebagai perhatian tulus.
- Kehilangan kesempatan melatih empati dan komunikasi dengan manusia sungguhan.
Para ahli bahkan memperingatkan bahwa terlalu sering berinteraksi dengan AI bisa mengganggu perkembangan emosional anak.
Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua?
Kabar baiknya, orang tua tidak perlu menjadi “pakar teknologi” untuk membantu anak menghadapi fenomena ini. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
-
Mulai dengan Percakapan Terbuka
Jangan langsung melarang atau memarahi. Tanyakan dengan santai:
- “Kamu pakai aplikasi apa?”
- “Seru nggak ngobrol sama AI itu?”
- “Kalau dibanding ngobrol sama teman sungguhan, gimana rasanya?”
Dengan begitu, anak merasa didengarkan, bukan dihakimi.
-
Jelaskan Bahwa AI Bukan Manusia
Tekankan bahwa teman AI hanya dibuat untuk terlihat ramah, tetapi sebenarnya tidak punya perasaan. Katakan bahwa validasi yang mereka berikan hanyalah strategi agar pengguna betah berlama-lama.
-
Bicarakan Risiko Secara Spesifik
Jelaskan bahwa AI bisa salah memberi saran, bisa menjerumuskan, atau bahkan menampilkan konten berbahaya. Pastikan anak tahu batasannya.
-
Buat Aturan Keluarga
Diskusikan batasan penggunaan AI, sama seperti aturan main game atau media sosial. Misalnya, tidak boleh chatting dengan AI sampai larut malam atau membatasi waktu harian.
-
Arahkan ke Dukungan Nyata
Jika anak curhat tentang masalah serius, jangan biarkan mereka hanya bergantung pada AI. Tawarkan diri sebagai pendengar atau arahkan mereka ke konselor atau psikolog, jika diperlukan.
-
Jadilah “Teman Nyata” yang Lebih Baik
Intinya, jika anak lebih memilih AI daripada orang tua, mungkin mereka merasa tidak cukup nyaman berbicara dengan kita. Maka, perbaiki hubungan, ciptakan suasana aman, dan tunjukkan empati yang sebenarnya.
Ingat, teman AI mungkin terlihat menyenangkan dan tidak berbahaya. Namun, di balik itu ada risiko besar yang bisa mengganggu perkembangan emosional dan sosial remaja.
Sebagai orang tua, tugas kita bukan sekadar melarang, tetapi mendampingi. Mulailah dengan percakapan terbuka, jelaskan batasan, dan pastikan anak tahu bahwa hubungan nyata jauh lebih berharga daripada interaksi dengan mesin.
Pada akhirnya, teknologi akan terus berkembang. Namun, ada satu hal yang tidak bisa digantikan AI, yaitu kehangatan, empati, dan kasih sayang dari orang tua yang selalu hadir untuk anak-anaknya.
~Febria