Di zaman sekarang, kata-kata seperti “Tetap semangat!”, “Jangan sedih terus!”, atau “Pikirin yang positif aja!” sering kita dengar, terutama di media sosial. Memang, sikap positif itu penting. Namun, jika sikap positif itu dipaksakan terus-menerus sampai menutup perasaan negatif atau masalah yang sebenarnya sedang kamu alami, itu bisa jadi yang disebut toxic positivity.
Toxic positivity adalah keadaan di mana kita atau orang lain terlalu memaksakan untuk selalu berpikir positif dan merasa bahagia, sampai akhirnya kita mengabaikan atau menekan perasaan negatif seperti sedih, marah, kecewa, atau stres. Di kalangan pelajar, toxic positivity bisa muncul dalam berbagai bentuk dan ternyata bisa berdampak buruk jika tidak disikapi dengan benar.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity bukan sekadar berusaha optimis. Ini adalah situasi ketika seseorang tidak membolehkan diri atau orang lain untuk merasa sedih, frustrasi, atau marah karena dianggap “negatif” atau “buruk”.
Misalnya, ketika kamu sedang stres menghadapi ujian, tapi teman atau keluarga malah bilang, “Santai aja, positif thinking dong!”, tanpa mendengarkan keluhan atau kesulitanmu.
Hal ini bisa membuat kamu merasa sendiri, karena kamu tidak diberi ruang untuk mengungkapkan perasaan sebenarnya. Lama-kelamaan, perasaan negatif itu menumpuk dan bisa berujung pada stres yang lebih berat, kecemasan, bahkan depresi.
Pelajar, terutama di masa SMA dan kuliah, menghadapi banyak tekanan. Mulai dari tuntutan nilai, persaingan masuk PTN, sampai masalah sosial dengan teman. Di tengah tekanan itu, toxic positivity sering muncul dari lingkungan sekitar, seperti:
- Guru yang selalu menuntut “harus semangat, jangan mudah menyerah” tanpa memahami tekanan yang kamu rasakan.
- Teman yang bilang, “Ya sudah, jangan dipikirin, nanti juga selesai,” padahal kamu butuh dukungan lebih dari sekadar kata-kata.
- Media sosial yang penuh dengan motivasi berlebihan yang kadang membuat kamu merasa kalau kamu harus selalu bahagia dan sukses tanpa masalah.
Ketika toxic positivity menyelimuti, kamu bisa merasa seolah-olah kamu salah atau lemah karena punya masalah dan perasaan negatif. Ini sangat berbahaya untuk kesehatan mentalmu.
Dampak Toxic Positivity
Kalau kamu terlalu memaksakan diri untuk selalu terlihat positif, ada beberapa dampak negatif yang bisa terjadi, seperti mengabaikan perasaan sendiri.Kalau kamu tidak mengakui perasaan sedih atau kecewa, perasaan itu bisa semakin dalam dan menjadi beban yang berat. Kamu juga bisa merasa sendirian dan terisolasi karena merasa harus selalu bahagia, kamu mungkin enggan berbagi masalah pada orang lain, sehingga merasa kesepian.
Dampak lain yang mungkin muncul adalah stres dan kecemasan. Menekan emosi negatif tidak membuatnya hilang, justru bisa menimbulkan stres dan kecemasan yang makin parah. Ini juga bisa berdampak pada hubungan sosial yang tidak sehat. Jika kamu selalu menyembunyikan masalah, orang di sekitar juga tidak tahu bagaimana cara membantumu.
Mengenali dan MelawanToxic Positivity dengan Realita Sehat
Supaya kamu nggak terjebak atau malah menyebarkan toxic positivity, kamu harus tahu tanda-tandanya. Berikut beberapa contohnya:
- Ketika seseorang sedang curhat, kamu langsung menyuruhnya “lihat sisi positifnya” tanpa mendengarkan dulu.
- Kamu merasa tidak boleh sedih, marah, atau kecewa karena harus “selalu kuat”.
- Kata-kata seperti “jangan drama”, “yaudah, move on aja”, atau “ini nggak seburuk itu” sering kamu dengar.
- Kamu merasa bersalah ketika punya perasaan negatif.
- Terlalu sering memaksa diri untuk terlihat bahagia di depan orang lain.
Melawan toxic positivity bukan berarti harus jadi orang yang selalu negatif atau pesimis. Tapi, ini soal bagaimana kamu bisa menerima semua perasaan dengan sehat, baik positif maupun negatif. Berikut beberapa tips yang bisa kamu pratikkan dalam kehidupan sehari-hari:
- Terima Semua Perasaan
Sadari bahwa wajar dan manusiawi untuk merasa sedih, marah, atau kecewa. Semua perasaan itu punya fungsi penting, seperti memberi tahu kita ada masalah yang perlu diperhatikan.
- Ekspresikan Perasaanmu
Cari cara yang sehat untuk mengekspresikan perasaan negatif, misalnya curhat dengan teman yang dipercaya, menulis jurnal, atau melakukan aktivitas yang membuatmu rileks.
- Berikan Dukungan yang Empati pada Teman
Kalau temanmu sedang kesulitan, dengarkan dulu apa yang mereka rasakan sebelum memberikan saran positif. Kadang, yang mereka butuhkan cuma didengar dan dimengerti.
- Gunakan Bahasa yang Mendukung
Alih-alih bilang “semangat terus!”, kamu bisa bilang, “Aku tahu kamu sedang sulit, aku di sini kalau kamu mau cerita.” Ini jauh lebih membangun dan tidak menekan perasaan.
- Jaga Kesehatan Mental dengan Pola Hidup Sehat
Tidur cukup, makan makanan bergizi, olahraga, dan lakukan hobi yang menyenangkan bisa membantu kamu menjaga keseimbangan emosi.
Toxic positivity memang terlihat seperti dorongan positif, tapi kalau berlebihan dan dipaksakan bisa berbahaya. Di kalangan pelajar, penting untuk mengenali tanda-tanda toxic positivity dan belajar menerima semua perasaan secara sehat.
Ingat, menjadi kuat bukan berarti harus selalu bahagia dan menutupi masalah. Justru, kekuatan sejati ada ketika kamu berani menghadapi dan mengelola semua perasaanmu dengan baik.
Kalau kamu atau temanmu merasa terjebak dalam toxic positivity, jangan ragu untuk cari bantuan dari guru, konselor sekolah, atau profesional kesehatan mental. Merawat kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik, dan tidak ada salahnya meminta dukungan.
~Afril