Ratusan Siswa SMP di Buleleng Bali Belum Lancar Membaca, Ada Apa dengan Pendidikan Indonesia?

Share

Baru-baru ini, ada kabar mengejutkan datang dari Kabupaten Buleleng, Bali. Ternyata, masih ada ratusan siswa SMP di sana yang belum bisa membaca dengan lancar. Bahkan, ada yang sama sekali belum bisa membaca.

Jumlahnya tidak sedikit. Dari total 34.062 siswa SMP di seluruh Kabupaten Buleleng, ada 155 siswa yang dinyatakan belum bisa membaca sama sekali. Selain itu, ada 208 siswa lagi yang masih kesulitan membaca atau belum lancar.

Jika dijumlahkan, ada sekitar 400 siswa dari 60 sekolah yang mengalami kesulitan dalam hal membaca.

Kondisi ini disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, I Made Sedana. Menurutnya, ini adalah masalah serius yang tidak bisa dianggap sepele.

Kenapa Banyak Siswa SMP yang Belum Bisa Membaca?

Masalah ini tentu tidak muncul begitu saja. Ada beberapa penyebab utama yang menurut para ahli dan pengamat pendidikan menjadi akar masalahnya.

  1. Kebijakan Naik Kelas Otomatis

Sekarang ini banyak sekolah menerapkan sistem naik kelas otomatis. Artinya, siswa bisa naik kelas meskipun belum menguasai pelajaran dasar, termasuk membaca. Jadi, meskipun belum bisa membaca dengan baik di SD, siswa tetap bisa lanjut ke SMP.

Masalahnya, di SMP pelajaran makin berat, tetapi kemampuan membaca belum cukup. Alhasil, siswa makin tertinggal.

Sedana mengatakan bahwa kebijakan ini malah seperti memindahkan masalah dari SD ke SMP. Seharusnya masalah belajar anak tuntas dulu di SD, baru bisa lanjut ke SMP.

  1. Masalah Disleksia

Disleksia adalah gangguan belajar yang membuat seseorang kesulitan membaca, menulis, atau mengeja. Ini bukan karena malas belajar, tetapi karena ada gangguan pada perkembangan otak.

Disleksia bisa disebabkan oleh faktor genetik atau trauma pada otak, misalnya karena benturan keras saat masih kecil. Jadi, penting juga untuk mendeteksi sejak dini apakah seorang anak mengalami disleksia.

  1. Pembelajaran yang Belum Sesuai Kebutuhan Siswa

Sebenarnya, sekarang banyak sekolah yang mencoba menerapkan “pembelajaran berdiferensiasi” atau pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan gaya belajar masing-masing siswa.

Sayangnya, belum semua guru paham cara menerapkannya. Akibatnya, pendekatan ini belum bisa membantu semua siswa, terutama yang masih tertinggal.

  1. Kurangnya Kerja Sama antara Sekolah, Orang Tua, dan Masyarakat

Dalam dunia pendidikan, ada yang disebut “tripusat pendidikan”, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ketiga pihak ini seharusnya bekerja sama untuk mendidik anak-anak.

Kenyataannya, masih banyak orang tua yang kurang terlibat dalam pendidikan anaknya. Padahal, peran orang tua sangat penting, apalagi dalam mengajarkan anak membaca sejak dini di rumah.

Fenomena Gunung Es Ini Bukan Hanya di Buleleng

Menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), kasus di Buleleng ini hanya bagian kecil dari masalah yang lebih besar. Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, menyebut bahwa di banyak daerah lain juga ditemukan siswa SMP dan bahkan SMA yang belum lancar membaca.

Ubaid juga bilang kalau masalah ini tidak dianggap masalah serius sehingga dibiarkan begitu saja dan akhirnya sekarang makin banyak. Ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia gagal mengajarkan kemampuan dasar kepada siswa, padahal membaca itu fondasi utama.

Salah satu buktinya, sekarang banyak orang tua yang akhirnya menyekolahkan anak mereka ke lembaga kursus membaca di luar sekolah. Padahal, jika sekolah bisa mengajarkan membaca dengan baik, untuk anak kursus di luar.

Ini menjadi seperti sebuah ironi.

Apa Saja Masalah Utama dalam Pendidikan Indonesia?

Menurut Ubaid, banyak masalah dalam sistem pendidikan Indonesia yang jadi penyebab utama siswa belum bisa membaca, diantaranya:

  1. Kebijakan yang Sering Berubah-ubah

Tiap ganti menteri, kebijakannya juga ganti. Padahal belum tentu kebijakan yang lama sudah dievaluasi. Akhirnya, pendidikan jadi tidak konsisten.

  1. Masalah Guru

Banyak guru yang masih menghadapi persoalan kesejahteraan dan pelatihan. Akibatnya, kemampuan mengajarnya juga belum maksimal. Belum lagi guru sering disibukkan oleh urusan administratif, bukan fokus mengajar.

  1. Minimnya Budaya Membaca

Di sekolah, budaya membaca belum tumbuh. Bahkan banyak guru sendiri yang minat bacanya rendah, apalagi siswanya. Lingkungan sekolah seharusnya bisa jadi tempat yang menyenangkan untuk belajar dan membaca.

Solusi yang Bisa Dilakukan

Untuk mengatasi masalah ini, perlu langkah yang serius dan menyeluruh. Berikut beberapa solusi yang disarankan:

  1. Pemetaan Kemampuan Membaca Sejak Dini

Sekolah perlu memeriksa kemampuan membaca siswa sejak masih di SD. Kalau sudah terlihat ada kesulitan, langsung ditangani. Jangan dibiarkan dan malah diluluskan untuk lanjut ke bangku SMP.

  1. Kelas Khusus bagi Siswa yang Tertinggal

Sekolah bisa membuat kelas tambahan atau program khusus untuk siswa yang belum lancar membaca. Jadi, jangan disamakan dengan siswa lain yang sudah bisa, yang justru bisa membuat mereka semakin tertinggal.

  1. Pelatihan Guru Lebih Intensif

Guru juga perlu dilatih untuk mengenali siswa dengan kesulitan belajar dan tahu cara mengajar dengan baik. Tak semua anak bisa diajarkan dengan metode yang sama.

  1. Deteksi Disleksia Sejak Awal

Anak-anak yang punya gangguan seperti disleksia harus dikenali sejak dini agar bisa mendapat bantuan khusus. Jangan justru malah dikucilkan yang bisa membuat mereka semakin rendah diri.

  1. Libatkan Orang Tua dan Masyarakat

Pendidikan bukan hanya urusan sekolah. Orang tua juga harus aktif membantu anak belajar di rumah. Meski sudah belajar di sekolah, bukan berarti anak tak perlu belajar lagi di rumah.

Pemerintah Harus Serius Bertindak

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, sudah mengetahui soal ini. Ia mengatakan pemerintah akan memberikan pendampingan khusus untuk siswa yang belum bisa membaca.

Namun, tentu saja hal tersebut tidak cukup jika tidak dilakukan secara serius dan menyeluruh di seluruh daerah.

Masalah kemampuan membaca ini merupakan tantangan besar untuk bangsa Indonesia. Ini bukan hanya karena siswa malas atau bodoh, tetapi menjadi cerminan dari sistem pendidikan yang belum berjalan dengan baik.

Semua pihak, mulai dari sekolah, guru, orang tua, dan pemerintah, harus kerja sama untuk menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai semakin banyak anak yang terus tertinggal hanya karena tidak diajarkan membaca dengan benar sejak awal.

Lihat Artikel Lainnya

Scroll to Top
Open chat
1
Ingin tahu lebih banyak tentang program yang ditawarkan Sinotif? Kami siap membantu! Klik tombol di bawah untuk menghubungi kami.