Memahami Dampak Serius Fenomena Brain Rot bagi Remaja

Share

Di tengah gempuran teknologi dan kemudahan akses informasi digital, generasi muda kini menghadapi tantangan baru yaitu brain rot atau yang sering diterjemahkan secara bebas sebagai “pembusukan otak”. 

Meski istilah ini berasal dari bahasa gaul di internet dan bukan istilah medis resmi, fenomena ini merujuk pada efek jangka panjang dari kebiasaan menghabiskan waktu berjam-jam menonton video pendek, bermain game, atau scrolling tanpa tujuan di platform media sosial.

Di balik istilah yang terkesan tidak serius, sebenarnya brain rot memiliki dampak serius yang bisa memengaruhi perkembangan mental, emosional, dan sosial anak muda. Berikut penjelasan tentang berbagai dampak yang bisa muncul akibat fenomena ini.

1. Menurunnya Kemampuan Fokus dan Konsentrasi

Salah satu dampak paling mencolok dari brain rot adalah penurunan drastis dalam kemampuan fokus. Remaja yang terbiasa dengan konten pendek seperti video TikTok berdurasi 15 detik atau scrolling cepat di media sosial menjadi sulit untuk bertahan pada satu aktivitas dalam waktu lama, misalnya membaca artikel panjang atau buku. 

Mereka cepat bosan saat harus membaca teks panjang, mengikuti pelajaran, atau mengerjakan tugas akademik.

Otak yang terbiasa mendapat rangsangan cepat dan instan mulai “kehilangan kesabaran” untuk hal-hal yang memerlukan konsentrasi dalam jangka waktu lebih panjang. Akibatnya, kualitas belajar menurun, tugas tidak diselesaikan dengan baik, dan prestasi akademik bisa terkena dampaknya secara signifikan.

2. Penurunan Daya Ingat dan Kemampuan Berpikir Kritis

Ketika informasi dikonsumsi secara terus-menerus dan dangkal, otak tidak diberi kesempatan untuk memproses informasi secara mendalam. Ini menyebabkan daya ingat jangka panjang menurun karena informasi hanya disimpan secara sementara dan tidak pernah benar-benar dipahami.

Lebih dari itu, kemampuan berpikir kritis dan analitis juga terganggu. Remaja yang mengalami brain rot cenderung tidak lagi terbiasa mempertanyakan, menganalisis, atau mengevaluasi informasi. Mereka menjadi konsumen pasif konten, bukan pemikir aktif yang mampu membangun opini berdasarkan logika dan bukti.

3. Kehilangan Motivasi 

Brain rot tidak hanya menyerang fungsi kognitif, tapi juga semangat remaja. Aktivitas yang seharusnya bermanfaat dan menyenangkan, seperti membaca buku, berolahraga, atau mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, mulai dianggap membosankan dan berat. Remaja merasa lebih nyaman larut dalam scrolling tak berujung karena tidak memerlukan usaha kognitif.

Seiring waktu, ini menyebabkan hilangnya motivasi intrinsik, yaitu dorongan dari dalam diri untuk belajar atau berkembang. Remaja cenderung menjalani hari-hari mereka dalam siklus pasif, mulai dari bangun tidir, bermain gadget, mengonsumsi konten pendek, tidur, dan mengulang tanpa arah yang jelas.

4. Risiko Kesehatan Mental

Konten digital yang dikonsumsi secara berlebihan juga berdampak pada kesehatan mental. Brain rot sering diiringi oleh perasaan hampa, tidak produktif, dan frustasi. Meskipun menghabiskan waktu berjam-jam di internet, remaja tidak merasa puas secara emosional. Justru, mereka bisa merasa bersalah, cemas, atau bahkan tertekan karena waktu yang terbuang tanpa makna.

Ketika hiburan digital dijadikan pelarian dari stres, tugas, atau kenyataan, remaja berisiko mengalami ketergantungan digital. Mereka bisa merasa gelisah jika tidak mengakses ponsel, sulit tidur, dan merasa tidak nyaman saat berada jauh dari layar. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa memicu gejala depresi ringan hingga berat.

5. Kesulitan dalam Menemukan Minat dan Tujuan Hidup

Brain rot juga membuat remaja kehilangan arah dan tujuan. Karena terlalu banyak waktu dihabiskan dengan konten dangkal yang tidak merangsang refleksi diri, mereka kesulitan mengenali potensi, minat, atau nilai-nilai pribadi.

Akibatnya, banyak remaja merasa kosong, tidak tahu harus melakukan apa dalam hidup, dan tidak memiliki motivasi untuk membangun masa depan. Ketika ditanya tentang cita-cita atau rencana hidup, mereka menjawab dengan kebingungan.

6.Menurunnya Kemampuan Interaksi Sosial di Dunia Nyata

Remaja yang mengalami brain rot cenderung lebih nyaman berinteraksi secara virtual dibandingkan tatap muka. Ini menyebabkan keterampilan sosial seperti mendengarkan dengan aktif, membaca ekspresi wajah, atau merespons emosi orang lain menjadi tumpul.

Akibatnya, mereka bisa merasa canggung dalam situasi sosial nyata, mengalami kecemasan sosial, atau merasa lebih terisolasi. Hal ini ironis, mengingat media sosial diciptakan untuk menghubungkan manusia, tapi justru bisa menciptakan jarak sosial dalam dunia nyata jika digunakan secara tidak sehat.

7. Terganggunya Pola Tidur dan Keseimbangan Hidup

Remaja dengan kebiasaan scrolling berlebihan sering mengorbankan waktu tidur mereka. Fenomena revenge bedtime procrastination atau menunda tidur demi menikmati hiburan digital pun semakin umum terjadi. Kurangnya tidur berdampak pada kinerja otak, emosi yang labil, dan menurunnya sistem imun.

Selain itu, pola hidup remaja menjadi tidak seimbang antara waktu untuk belajar, bersosialisasi, bergerak, dan merenung digantikan oleh layar ponsel. Jika dibiarkan, ini berpotensi mengganggu perkembangan remaja secara keseluruhan.

~Afril

Lihat Artikel Lainnya

Scroll to Top
Open chat
1
Ingin tahu lebih banyak tentang program yang ditawarkan Sinotif? Kami siap membantu! Klik tombol di bawah untuk menghubungi kami.