Kenapa Anak Bisa Pintar di Kelas Tapi Gagal di Ujian? Ini Penjelasanya!

Share

Fenomena anak yang terlihat cerdas dan aktif di kelas tapi justru meraih hasil buruk saat ujian adalah hal yang sering membingungkan guru dan orang tua. Anak tampak memahami pelajaran, mudah menjawab pertanyaan lisan, dan bahkan membantu temannya, namun ketika ujian tiba, nilainya jauh dari harapan. 

Apakah ini soal keberuntungan, kurang belajar, atau ada hal yang lebih dalam? Pada dasarnya, ada banyak faktor psikologis yang memengaruhi performa anak saat ujian. Bahkan anak yang tergolong pintar sekalipun bisa terjebak dalam pola kegagalan akademik saat harus menghadapi tekanan ujian formal. 

Berikut beberapa faktor yang mungkin mendasari kenapa anak yang pintar di kelas mendapat nilai yang kurang optimal saat ujian: 

1. Kecemasan Saat Ujian

Salah satu penyebab utama adalah kecemasan saatujian, kondisi di mana anak mengalami stres tinggi menjelang atau saat menghadapi ujian. Gejalanya bisa berupa gelisah, sulit fokus, jantung berdebar, bahkan pikiran kosong tiba-tiba saat mengerjakan soal. 

Dalam banyak kasus, anak sebenarnya tahu jawabannya, tetapi tidak mampu mengaksesnya karena otaknya berada dalam kondisi tegang.

Dari sudut pandang psikologi kognitif, kecemasan tinggi dapat membatasi fungsi working memory, yaitu bagian otak yang memproses dan menyimpan informasi jangka pendek. Ketika pikiran dipenuhi rasa takut gagal atau kekhawatiran tentang hasil, kapasitas otak untuk memecahkan masalah berkurang drastis. Akibatnya, performa ujian pun tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya.

2. Perbedaan Gaya Belajar dan Format Ujian

Setiap anak memiliki gaya belajar yang berbeda. Ada yang lebih cepat memahami materi melalui diskusi, visualisasi, atau praktik langsung. Di kelas, mereka bisa unggul karena belajar terjadi dalam interaksi sosial dan lingkungan yang dinamis. Namu,  saat ada ujian yang mengandalkan hafalan dan struktur jawaban tertentu, anak dengan gaya belajar aktif bisa kesulitan beradaptasi.

Format ujian cenderung seragam, antara pilihan ganda, isian, atau esai. Ini menguntungkan anak yang terbiasa belajar secara verbal atau logis, akan tetapi menyulitkan mereka yang memiliki kecerdasan visual, kinestetik, atau interpersonal. Akibatnya, meski pemahaman mereka baik, ujian tidak berhasil menangkap kekuatan sebenarnya dari anak tersebut.

3. Tidak Terbiasa Belajar dalam Situasi Sunyi dan Terstruktur

Anak yang tampak cerdas di kelas mungkin terbiasa belajar dalam suasana yang aktif, ada guru yang berbicara, teman yang berdiskusi, atau adanya petunjuk non-verbal yang membantu proses belajar. Mereka berkembang dalam lingkungan yang terbuka dan responsif.

Sebaliknya, ujian berlangsung dalam suasana yang sangat berbeda, sunyi, serba sendiri, dan penuh tekanan waktu. Bagi sebagian anak, perubahan lingkungan ini membuat mereka tidak nyaman atau bahkan bingung.

Kondisi ini menunjukkan bahwa beberapa anak belum terbiasa belajar atau bekerja dalam situasi ujian yang hening dan terstruktur. Ketiadaan interaksi bisa membuat mereka kehilangan arah atau kesulitan mengekspresikan pemahamannya dalam bentuk tulisan atau jawaban.

4. Gangguan Konsentrasi Saat Ujian

Beberapa anak memiliki masalah konsentrasi yang mungkin tidak tampak saat proses belajar berlangsung secara terbuka dan variatif di kelas. Dalam kondisi ujian yang menuntut perhatian penuh dan stabil, gangguan fokus bisa muncul lebih jelas. Anak bisa cepat terdistraksi oleh suara kecil, suasana hening yang terasa mencekam, atau tekanan waktu yang membuat panik.

5. Ketergantungan pada Petunjuk atau Interaksi

Beberapa anak terbiasa memahami soal atau materi melalui bantuan guru,  baik dari intonasi saat menjelaskan, contoh langsung, hingga ekspresi wajah yang memberi isyarat penting. 

Di kelas, mereka menangkap banyak petunjuk dari guru yang membantu proses berpikir.

Namun saat ujian, semua isyarat itu hilang. 

Anak harus mengandalkan pemahaman sendiri untuk menafsirkan soal yang sering kali dibuat formal atau ambigu. Jika mereka belum terbiasa berpikir mandiri atau menafsirkan maksud soal dengan tepat, maka potensi mereka tidak bisa keluar sepenuhnya.

6. Tekanan Sosial dan Harapan yang Terlalu Tinggi

Anak yang dikenal sebagai “si pintar” sering kali merasa harus selalu tampil sempurna. Mereka bisa mengalami tekanan dari ekspektasi guru, orang tua, bahkan dari teman sekelas. Tekanan ini, walaupun tidak selalu diungkapkan secara langsung, bisa membentuk beban mental tersendiri.

Psikolog menyebut ini sebagai internalized pressure, yakni tekanan yang dibentuk dari dalam karena ingin mempertahankan citra atau tidak mau mengecewakan. Dalam situasi ujian, tekanan ini muncul dalam bentuk overthinking, ketakutan akan kesalahan, atau kehilangan rasa percaya diri. Hasilnya, performa justru menurun karena mental terbebani ekspektasi.

7. Kurangnya Strategi Ujian

Pintar dalam memahami materi berbeda dengan pintar mengerjakan ujian. Beberapa anak tidak diajarkan secara eksplisit bagaimana mengatur waktu ujian, bagaimana memilih soal yang mudah terlebih dahulu, atau bagaimana menebak dengan cerdas pada soal pilihan ganda. 

Mereka mungkin paham isi pelajaran, tapi tidak tahu bagaimana menyusun jawaban agar tepat sasaran dan sesuai format. Ini adalah keterampilan teknis yang perlu dilatih, bukan diasumsikan muncul otomatis karena anak “cerdas.” 

Tanpa pemahaman strategi ujian, anak yang pintar sekalipun bisa tersandung dalam situasi yang mengandalkan efisiensi dan taktik menjawab soal.

~Afril

Lihat Artikel Lainnya

Scroll to Top
Open chat
1
Ingin tahu lebih banyak tentang program yang ditawarkan Sinotif? Kami siap membantu! Klik tombol di bawah untuk menghubungi kami.