Di era digital saat ini, media sosial bukan lagi sekadar tempat berbagi momen, tetapi telah menjadi bagian penting dari identitas dan ekspresi diri, terutama bagi Generasi Z. Salah satu tren yang menarik untuk diamati adalah fenomena “second account” atau akun kedua di Instagram.
Berbeda dengan akun utama yang biasanya dipoles rapi dan penuh pertimbangan, second account justru mencerminkan sisi lebih personal, jujur, dan tak terfilter dari penggunanya. Fenomena ini semakin berkembang dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.
Second account, yang sering disebut juga “finsta” (fake Instagram) digunakan sebagai ruang aman untuk mengekspresikan diri secara lebih bebas, jauh dari tekanan sosial dan ekspektasi publik.
Mengapa Gen Z Membuat Second Account?
Ada beberapa alasan utama mengapa Gen Z tertarik membuat akun Instagram kedua. Pertama untuk alasan privasi. Akun utama biasanya terbuka untuk umum atau diikuti oleh keluarga, rekan kerja, guru, atau bahkan calon pemberi kerja. Gen Z merasa bahwa mereka harus menjaga citra tertentu di sana.
Dengan second account yang biasanya bersifat privat, mereka merasa memiliki ruang yang lebih aman untuk mengekspresikan diri tanpa takut dinilai. Selain itu, secound account juga membuat Gen Z merasa bebas dari tekanan sosial seperti jumlah follower dan like pada setiap unggahan.
Second account membebaskan penggunanya dari tuntutan tersebut. Mereka bisa mengunggah selfie seadanya, curhat, membagikan meme, atau menulis pemikiran spontan tanpa harus khawatir soal engagement.
Second account sering kali hanya diikuti oleh lingkaran pertemanan dekat. Ini memungkinkan interaksi yang lebih intim, jujur, dan otentik. Bagi sebagian Gen Z, ini adalah bentuk resistensi terhadap kehidupan digital yang semakin terasa dangkal.
Ironisnya, meski disebut “fake account”, justru di sanalah banyak pengguna merasa menjadi versi paling nyata dari dirinya.
Mereka bisa memposting hal-hal konyol, membagikan keresahan sehari-hari, bahkan mengungkapkan kerentanan emosional. Ini berbanding terbalik dengan citra ideal di akun utama yang lebih dikurasi.
Misalnya, seorang pengguna bisa saja mengunggah foto makanan mewah dan liburan di Bali di akun utama, tapi di second account ia menuliskan keresahannya tentang overthinking, krisis identitas, atau burnout kuliah.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana Gen Z menggunakan ruang digital secara kompleks antara kebutuhan tampil dan kebutuhan jujur pada diri sendiri.
Meski memberi kebebasan, penggunaan second account juga tidak lepas dari risiko. Di antaranya:
- Cyberbullying dan Gosip Internal
Karena isinya lebih personal, second account bisa menjadi target penyebaran informasi pribadi jika kepercayaan dilanggar. Tak jarang terjadi kasus “teman dekat” yang menyebarkan tangkapan layar dari second account ke publik. - Krisis Identitas
Memiliki dua (atau lebih) persona online dapat menimbulkan kebingungan identitas, terutama jika batas antara “yang asli” dan “yang ditampilkan di internet” mulai kabur. Ini bisa berdampak pada kesehatan mental dan kestabilan emosional. - Potensi Disalahgunakan
Ada pula yang menggunakan second account bukan untuk ekspresi diri, tetapi untuk stalking, memata-matai, atau menyebarkan komentar negatif secara anonim.
Fenomena second account juga menjadi cerminan budaya digital Gen Z yang penuh dinamika. Di satu sisi, mereka melek teknologi dan sadar akan pentingnya personal branding. Di sisi lain, mereka juga merindukan koneksi yang autentik dan ruang aman untuk menjadi diri sendiri.
Ini juga bisa dilihat sebagai respons terhadap kepalsuan yang kerap muncul di media sosial. Ketika akun utama dipenuhi citra ideal, second account muncul sebagai bentuk perlawanan kecil terhadap budaya pencitraan.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Fenomena Second Account
Bagi orang tua, tenaga pengajar atau siapa pun yang bekerja dengan Gen Z, memahami alasan di balik second account bisa membuka wawasan tentang dunia batin generasi ini. Mereka bukan sekadar “kabur” dari kenyataan, melainkan sedang mencari ruang otentik dalam dunia yang serba terhubung namun sering kali dangkal.
Alih-alih melarang atau mencurigai, mendekati fenomena ini dengan empati bisa jauh lebih efektif. Yang dibutuhkan Gen Z bukan hanya koneksi internet, tapi juga koneksi emosional yang aman dan suportif, baik di dunia nyata maupun maya.
Fenomena ini mengajarkan kita bahwa media sosial bukan hanya tentang apa yang kita tampilkan, tetapi juga tentang bagaimana kita memilih ruang untuk menjadi diri sendiri. Dan bagi Gen Z, second account adalah salah satu caranya.
~Afril