Bimbel Sinotif dan “Ruang Kelas Lain” yang Sudah Saatnya Dimasuki oleh Murid

Bimbel Sinotif dan “Ruang Kelas Lain” yang Sudah Saatnya Dimasuki oleh Murid

Pada pertengahan 2020, sempat terjadi kehebohan dalam dunia pendidikan Indonesia. Saat itu Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, menyatakan bahwa belajar jarak jauh secara online akan tetap berlanjut meski pandemi Covid-19 nantinya berakhir.

Banyak pihak, termasuk sekolah, guru, dan orangtua keberatan dengan gagasan tersebut. Mempermanenkan belajar online dianggap sebuah kekeliruan. Meninggalkan ruang-ruang kelas di sekolah fisik dan menggantikannya dengan ruang-ruang kelas virtual sulit diterima.

Sebenarnya penolakan serta pro dan kontra tersebut tidak perlu terjadi seandainya kita memahami maksud Menteri Nadiem. Apalagi dengan latar belakangnya sebagai inovator teknologi dan internet membuatnya mampu memperkirakan revolusi dunia pendidikan pada masa depan. 

Bahwa keberadaan sekolah dengan metode belajar tatap muka di kelas masih dibutuhkan dan belum akan tergantikan. Namun, tidak bisa diabaikan atau ditolak adanya “ruang kelas lain” yang lebih luas dan leluasa. Begitulah kira-kira maksud Menteri Nadiem Makarim sebenarnya.

Artinya, hadir secara fisik di ruang kelas bukan lagi satu-satunya cara belajar. Metode belajar secara konvensional dan tradisional telah berkembang. Internet dan teknologi yang menyertainya telah menghadirkan metode alternatif untuk melengkapi proses pembelajaran.

Oleh karenanya “ruang kelas lain” itu tidak bisa dihindari sebagai bagian dari revolusi pendidikan. Sudah saatnya para guru dan murid mulai memasukinya. Sekolah-sekolah perlu beradaptasi. Sebagaimana kita telah melewati periode menggali ilmu lewat buku pelajaran, majalah, radio, televisi, dan kemudian internet. Semua media dan cara tersebut perlu dikombinasikan untuk saling memperkuat.

Walau demikian, bisa dimengerti  pula jika banyak masyarakat masih ragu atau mempertanyakan efektivitas belajar online. Kekhawatiran utamanya memang terkait dukungan internet dan teknologi di Indonesia yang belum merata antar wilayah dan sekolah.

Kemudian belajar online sebagai penunjang pengajaran di sekolah belum lazim diterapkan di Indonesia. Penerapannya secara masif baru semenjak pandemi Covid-19 sehingga dibutuhkan lebih banyak waktu dan kajian untuk mengukur efektivitasnya. Di sisi lain kriteria efektivitas belajar online bisa beragam tergantung jenis pelajaran atau disiplin ilmu.

Akan tetapi sebuah penelitian mengenai persepsi, efektivitas, dan indikator kualitas belajar online oleh Christine Frazer dkk. dari Walden University memberi penjelasan penting.

 

Hasil penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Nursing Research and Practise pada 2017 tersebut mengungkap bahwa belajar online memudahkan guru dalam memaksimalkan perannya sebagai fasilitator untuk menyesuaikan kebutuhan unik setiap murid serta menstimulasi murid untuk berdiskusi secara aktif.

 

Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa belajar online membuat pemanfaatan waktu antara penyampaian bahan belajar, diskusi, dan pengerjaan tugas menjadi lebih efektif. 

Selain meningkatkan kemampuan murid, potensi stres, dan kejenuhan bisa ditekan lebih rendah. Hasilnya, tingkat kelulusan murid di kelas belajar online lebih memuaskan.

Sebuah ilustrasi menarik muncul dalam penelitian ini, yakni

“Jika anda punya 30 murid dalam satu kelas dan hanya 10 murid yang berhasil lulus pelajaran, maka itu menandakan ada sesuatu yang salah. Sementara saya punya lebih sedikit murid (di kelas online) dan semuanya lulus, maka saya punya persentase 100%”.

 

Sekilas itu merupakan permainan kata-kata yang bisa memancing perdebatan dari sudut pandang kualitatif maupun kuantitatif. Akan tetapi makna pentingnya ialah metode belajar online bisa meningkatkan efektivitas dan ketuntasan belajar dengan cara membagi kelas besar ke dalam kelompok-kelompok belajar dan diskusi yang lebih kecil. Sebab dalam kelompok yang lebih kecil guru bisa memaksimalkan perannya sebagai fasilitator. Fokus dan kenyamanan murid pun lebih terjaga.

Pendekatan demikian ternyata sudah mulai diterapkan di Indonesia. Misalnya, bimbingan belajar Sinotif yang memberikan les tatap muka secara online dengan 3-5 murid dalam satu kelas yang dibimbing oleh seorang guru profesional.

Bimbel semiprivat tersebut memberikan banyak keuntungan bagi murid dan guru untuk memaksimalkan proses pengajaran. Terutama dalam pelajaran Matematika, Kimia, dan Fisika yang dianggap memiliki tingkat kesulitan tinggi.

Lewat kelas-kelas yang lebih kecil guru lebih mudah menerapkan pendekatan personal menyesuaikan karakter dan kebutuhan setiap murid.

Selain itu, guru dan murid bisa lebih menjangkau satu sama lain. Interaksi yang erat, meski diselenggarakan secara online, membuat guru dan murid mudah memberi umpan balik. Murid tidak canggung menyampaikan kesulitan dan keinginannya. Sementara guru bisa leluasa memberikan motivasi dan menjaga kualitas kegiatan belajar yang diselenggarakan.

Metode belajar demikian sangat membantu murid menemukan kesenangan dalam belajar. Maka tidak heran rata-rata murid di Sinotif memilih untuk terus mengikuti bimbel online selama 2-3 tahun.

Hal itu agaknya serupa dengan hasil penelitian Irma S. Jones dan Dianna Blankenship dari The University of Texas Rio Grande Valley yang dipublikasikan pada The Research in Higher Education Journal pada 2017. Penelitian tersebut menerangkan persepsi positif belajar online di kalangan murid di Amerika Serikat.

Disebutkan bahwa para murid lebih tertarik mengikuti kelas online dibandingkan belajar tatap muka di kelas. Saat dihadapkan pada situasi tidak tersedianya kelas online, proporsi yang menyatakan akan datang ke kelas tatap muka lebih sedikit dibanding yang menyatakan tidak akan datang.

Minat yang tinggi terhadap belajar online juga tercermin dari alokasi waktu. Sebanyak 49% murid terbiasa menghabiskan 6-10 jam per minggu untuk mengikuti les online.

Terkait metode online yang dipilih, mayoritas murid (39%) menyukai belajar dengan dibimbing oleh seorang instruktur/guru disertai diskusi dengan sesama murid lalu diakhiri dengan mengerjakan tugas.

Banyak murid berkomitmen untuk melanjutkan belajar secara online. Namun, mereka tetap menjadikan faktor biaya dan kualitas pengajaran yang didapatkan sebagai penentu pilihan.

Di Indonesia, kita mungkin masih dalam tahap transisi untuk memasuki revolusi pendidikan lebih jauh. Namun, pandemi Covid-19 telah memberikan gambaran bagaimana belajar online bisa menjadi cara untuk memperkuat proses pembelajaran agar lebih efektif dan berkualitas.

Seperti pernah ditegaskan oleh Prof. Arief Rachman, tokoh pendidikan sekaligus Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, bahwa belajar online mampu mendorong murid dan guru untuk sama-sama mengeksplorasi materi pelajaran yang umumnya masih terbatas di sekolah.

Jadi, ini hanya masalah waktu. Seiring meratanya akses internet dan meningkatnya penguasaan teknologi di tengah masyarakat Indonesia, serta semakin terbiasanya para generasi penerus dengan aktivitas di dunia maya, belajar online akan menjadi kebiasaan. Dan, memasuki “ruang kelas lain” akan menjadi pilihan yang masuk akal. ~ Hendra Wardhana