Masa remaja, dimulai dari anak SMP hingga SMA, merupakan periode perubahan fisik, emosi, dan identitas yang sangat cepat. Ini membuat anak remaja menjadi lebih sensitif terhadap penilaian dan rentan mengalami stres atau kecemasan.
Dengan melakukan hubungan komunikasi yang hangat, yaitu saat remaja merasa didengar dan bukan dihakimi, terbukti membantu kesejahteraan mental, mengurangi konflik keluarga, dan membuat remaja lebih siap mengambil keputusan baik.
Itulah sebabnya dukungan komunikasi orang tua juga termasuk faktor pelindung dalam kesehatan mental anak.
Dengarkan Lebih Banyak, Menghakimi Lebih Sedikit
Aktif mendengarkan bukan sekadar diam sambil menunggu giliran bicara.
Saat berbicara dengan anak, orang tua bisa memberikan perhatian penuh—bahkan melakukan kontak mata, memvalidasi perasaannya, dan mengulang singkat apa yang dikatakannya agar anak tahu kalau orang tua paham maksud perkataannya.
Hindari reaksi spontan seperti langsung mengoreksi, menasehati panjang, atau mengecilkan perasaan anak. Misalnya seperti ini:
Jika anak berkata, “Aku kesel banget karena guru mempermalukan aku di depan kelas.” Respon terbaik orang tua adalah mendengarkan dan bilang, “Wah, kamu pasti malu, ya. Coba cerita emang sebenarnya kenapa? Biar Mama/Papa ngerti.”
Pakar menyarankan agar orang tua menahan diri dari solusi cepat dan fokus dulu pada empati. Dengan begitu, anak akan lebih terbuka kalau merasa perasaannya divalidasi.
Tips Praktis Agar Anak Mau Terbuka
Berikut tips sehari-hari yang bisa dicoba oleh para orang tua:
- Pilih momen yang tepat. Lakukan obrolan santai saat jalan-jalan atau sambil makan sering lebih nyaman ketimbang “serius” di ruang tamu.
- Tanyakan pertanyaan fokus, bukan yang “umum”. Daripada bertanya, “Bagaimana sekolah?” lebih baik tanyakan, “Apa pelajaran yang paling ngeselin/nyenengin minggu ini?” Jangan lupa juga tanyakan alasannya.
- Bagikan hal kecil tentang diri sendiri. Orang tua bisa memberikan cerita singkat pengalaman diri yang relevan untuk membuat suasana obrolan menjadi dua arah.
- Gunakan aktivitas bersama. Ajak anak memasak, jalan sore, atau menonton film bersama untuk memancing obrolan.
- Berikan opsi dan ruang. Beri tahu anak kalau orang tua tersedia kapan pun untuk mendengarkan ceritanya. Namun, jangan paksa anak bicara saat dia menolak.
Kata-kata yang Sebaiknya Dihindari (dan Alasannya)
Beberapa kalimat sederhana ternyata bisa menutup komunikasi dengan anak bila sering dipakai. Berikut beberapa diantaranya:
- “Kamu selalu…” atau “Kamu nggak pernah…” yang membuat anak remaja merasa defensif.
- “Mama/papa sudah bilang begitu, kan?” atau “Kamu mah memang begitu.” yang memberi kesan merendahkan dan menutup dialog.
- “Jangan lebay” atau “Itu nggak penting” yang mengecilkan perasaan anak dan membuatnya berhenti berbagi cerita.
- “Kenapa kamu nggak kayak adik/kakak kamu, sih?” yang memicu perbandingan negatif dan rasa malu pada anak.
Lebih baik lakukan pengamatan spesifik terlebih dahulu dan berikan pertanyaan terbuka.
Misalnya, daripada bilang “Kamu malas” pada anak, lebih baik ganti dengan “Kamu kenapa akhir-akhir ini? Apa yang bikin susah memulai PR?”
Dengan begini, orang tua jadi mengundang anak untuk memberikan penjelasan, bukan melakukan konfrontasi.
Ini juga menghindari pemberian kritik secara langsung, sering memicu penutupan diri pada anak.
Jadi, teknik yang lebih aman adalah memberikan pertanyaan reflektif yang mengundang anak remaja melihat penyebab dan solusi sendiri.
Jika orang tua khawatir tentang perubahan mood drastis pada anak, sikapnya yang mulai menarik diri dari teman, atau tanda depresi, jangan ragu mencari dukungan profesional.
Ditambah dengan komunikasi terbuka di keluarga, ini akan membuat langkah bantuan lebih mudah diterima.
~Febria