Saat anak beranjak remaja, mulai dari SMP hingga SMA), banyak orang tua bingung dan bertanya-tanya, “Dulu anakku cerewet, kok sekarang jadi pendiam, tertutup, susah diajak cerita?”
Jangan panik dulu karena sebagian besar perubahan ini normal. Di masa remaja, otak anak, khususnya prefrontal cortex atau bagian untuk merencanakan, menimbang risiko, dan mengendalikan emosi, masih berkembang hingga awal usia 20-an.
Sementara itu, sistem emosi dan penghargaan, seperti “mesin perasaan” dan “sensasi seru” sudah ngebut duluan. Kombinasi ini membuat remaja lebih sensitif soal privasi, lebih banyak curhat ke teman, dan kadang tampak “menarik diri” dari orang tua.
Semua itu mereka lakukan bukan karena benci, tetapi karena sedang belajar mandiri dan membentuk identitasnya. Riset psikologi dan neurosains menggambarkan pola ini dengan cukup konsisten.
Di Indonesia, tantangan mental remaja juga nyata. Profil kesehatan remaja UNICEF menunjukkan tingginya keluhan kesehatan mental, dengan sebagian besar remaja yang mengalami depresi tidak mencari bantuan. Artinya, orang tua perlu peka, jangan panik, dan siap dengan strategi komunikasi yang hangat dan efektif.
Di bawah ini adalah panduan praktis untuk menghadapi sikap “menutup diri” anak.
-
Pahami “Menutup Diri” sebagai Fase Perkembangan, Bukan Perlawanan Personal
Ini penting dilakukan karena dengan melihat sikap tertutup sebagai “fase belajar mandiri” membantu orang tua tidak reaktif. Saat orang tua tidak tersinggung, anak merasa lebih aman untuk kembali membuka diri. Psikolog anak mencatat, banyak remaja ingin dekat dengan orang tua, hanya tidak selalu tahu caranya.
Jadi, daripada bertanya:
“Kamu kok nggak pernah cerita sama Mama lagi, sih?!”
Lebih baik bilang:
“Kayaknya akhir-akhir ini kamu ingin lebih banyak sendiri, ya. Itu Nggak apa-apa, kok. Asal kamu tahu Mama ada di sini kalau kamu butuh.”
-
Bangun “jembatan” Lewat OARS
Teknik komunikasi OARS dari Motivational Interviewing (MI) ini terbukti membantu remaja lebih terbuka karena terasa menghargai otonomi mereka. Berikut contohnya.
- Open questions (pertanyaan terbuka):
“Apa yang paling melelahkan dari sekolah minggu ini?” bukan “Kamu kenapa sih?”
- Affirmations (apresiasi spesifik):
“Kamu keren banget tetap mau datang latihan walaupun capek.”
- Reflections (merefleksikan):
“Kamu kayaknya kesal, ya, karena ngerasa nggak didengar.”
- Summaries (merangkum):
“Jadi, yang kamu butuh sekarang waktu istirahat, baru bahas tugas kelompok. Gitu, kan?”
Orang tua bisa memilih satu momen dalam sehari, misalnya di malam hari, untuk 10 menit “cerita bebas” dengan metode OARS ini, tanpa perlu memberikan nasihat terlebih dulu.
-
Ciptakan Ritme Aman
Penelitian menemukan, makan keluarga yang rutin berkorelasi dengan kesehatan emosional dan kebiasaan hidup yang lebih baik pada remaja. Karena ini menjadi momen santai untuk terkoneksi tanpa interogasi.
Contoh sederhana lain selain makan malam keluarga adalah membuat aturan di rumah menikmati akhir minggu seharian tanpa gadget atau jalan-jalan selama 20 menit di akhir minggu hanya berdua dengan anak sambil mengobrol hal ringan.
-
Validasi Dulu, Solusi Belakangan
Remaja sering menutup diri saat merasa dihakimi. Padahal, jika orang tua memvalidasi emosi anak, misalnya dengan bilang “Mama ngerti ini berat”, menurunkan “alarm” di otak emosi anak dan bisa membuka pintu diskusi.
Lembaga klinis anak menekankan untuk jangan cepat menyita ponsel sebagai hukuman. Itu justru sering memperburuk jarak dan mendorong perilaku sembunyi-sembunyi.
Kalimat validasi yang membantu adalah:
“Kedengerannya kamu kecewa berat ya.”
“Mau didengar aja atau minta ide solusi?”
-
Buat Aturan soal Gadget dan Media Sosial Secara Kolaboratif
Ikatan Dokter Anak Amerika, AAP, menyarankan pendekatan mindful dan family media plan, bukan sekadar angka menit. Libatkan anak menetapkan jam offline, notifikasi malam hari, dan lokasi mengisi daya HP di luar kamar. Untuk privasi online, UNICEF menyarankan keluarga membuat aturan jelas soal data pribadi.
Langkah praktis yang bisa dilakukan bersama anak, misalnya:
- Pilih dua waktu bebas gadget, seperti saat makan malam dan 30 menit sebelum tidur.
- Aktifkan Do Not Disturb malam hari.
- Sepakati aturan privasi, seperti tidak membagikan alamat rumah dan sekolah, tidak berbagi password ke orang lain.
- Tinjau bersama settings aplikasi tiap 3 bulan.
-
Bedakan “Butuh Ruang” vs Tanda Bahaya
“Menutup diri” memang normal, tetapi waspada jika muncul beberapa sinyal berikut:
- Penarikan diri ekstrem, misalnya tidak mau bertemu teman sama sekali, perubahan tidur atau makan yang drastis, nilai turun tajam.
- Ucapan soal putus asa, menyakiti diri, atau bunuh diri.
- Penggunaan zat atau alkohol, kekerasan, atau perilaku berisiko tinggi.
Data Indonesia menunjukkan beban masalah kesehatan mental remaja cukup besar dan sering tidak tertangani. Jika ragu, lebih baik konsultasi ke BK sekolah, puskesmas atau PKPR, dan psikolog atau psikiater anak-remaja.
Namun, jangan tiba-tiba mengajak anak untuk berkonsultasi atau bahkan membohonginya. Orang tua bisa berkata;
“Mama sayang kamu dan kelihatannya masalah kamu ini berat banget. Gimana kalau kita ketemu Bu Konselor/psikolog bareng? Kamu boleh pilih mau siapa dan kapan.”
-
Pakai Pola “Menu Solusi” dan Beri Otonomi
Remaja lebih kooperatif saat punya kendali. Saat anak menghadapi masalah dan orang tua ingin membantu, tawarkan tiga opsi yang semua bisa diterima anak dan orang tua.
Contohnya, saat anak kewalahan karena memiliki tugas menumpuk, orang tua bisa menawarkan tiga opsi, yaitu:
- “Mama temani kamu time blocking 30 menit sekarang.”
- “Kamu atur sendiri, nanti jam 9 malam kita review progres kamu.”
- “Besok pagi bangun 30 menit lebih awal, Mama siapkan sarapan sambil kamu mengerjakan tugas.”
Pemberian opsi ini efektif karena menurunkan resistensi dan menumbuhkan motivasi dari dalam diri anak.
8) Gunakan “Serve and Return” agar Anak Merasa Didengar
Konsep “serve and return” dari Harvard ini bisa dilakukan saat anak memberikan sinyal negatif, orang tua bisa mengembalikan dengan perhatian dan respons hangat. Ini membangun kelekatan dan regulasi emosi, yang menjadi fondasi bagi anak untuk berani bercerita.
Contoh kecilnya seperti ini:
Anak pulang sekolah, langsung ke kamar. Pintu ditutup lebih keras dari biasa.
Orang tua bisa membalasnya dengan bilang ke anak, “Mama bikin kue kesukaan kamu. Mau ditaruh di kamar atau makan bareng? Mama ada di ruang TV kalau kamu butuh teman cerita, ya.”
Jadi, anak yang tampak “menutup diri” bukan berarti hubungannya dengan orang tua rusak. Justru ini saat yang tepat untuk membangun jembatan baru, dengan lebih menghargai privasi, melatih komunikasi reflektif, dan menciptakan ritme kebersamaan yang relevan untuk remaja masa kini.
Dengan langkah-langkah di atas, rumah terasa aman untuk anak, bahkan saat mereka sedang belajar menjadi dirinya sendiri.
~Febria