Pengalaman Puasa Ramadan Para Mahasiswa Indonesia yang Kuliah di Luar Negeri, Apa Saja Perbedaannya?

Bulan Ramadan yang ditunggu oleh umat Muslim sedunia akhirnya tiba. Meskipun harus berpuasa dari matahari terbit hingga terbenam, tetapi banyak orang masih harus melakukan kegiatannya seperti biasa. Termasuk para mahasiswa yang menjalani perkuliahannya.
Namun, menjalani puasa di negeri sendiri tentu saja berbeda dengan di negeri orang. Itulah yang dirasakan oleh para mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di luar negeri. Puasa di negara orang pasti memiliki pengalaman tersendiri yang unik dan dan bukan tidak mungkin menyulitkan.
Berikut adalah beberapa pengalaman puasa Ramadan para mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan di luar negeri, yang dirangkum dari berbagai sumber.
Puasa di Inggris Berat saat Musim Panas
Menurut Yoga Permana, mahasiswa S3 London School Economics, yang sudah beberapa kali menjalani puasa di Inggris, pengalaman Ramadan di negara tersebut berbeda-beda tergantung musim yang sedang berlangsung di sana.
Ia pernah merasakan Ramadan menjelang musim panas yang menurutnya agak berat karena umat Muslim harus berpuasa sekitar 18 jam. Namun, waktu tersebut masih belum terlalu lama jika dibandingkan dengan saat dirinya studi di Belanda yang sampai 20 jam.
Sementara saat dirinya berpuasa di Inggris saat memasuki musim semi, waktu puasanya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, yakni sekitar 16 jam. FYI, umat Muslim di Indonesia biasanya berpuasa sekitar 14 jam saja.
Mahasiswa Polandia Lebih Suka Buka Puasa di Masjid
Jika kebanyakan orang di Indonesia lebih suka berbuka puasa di rumah bersama keluarga atau di luar bersama teman-teman, tetapi tidak dengan para mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Polandia.
Namun, jangan membayangkan masjid di negara tersebut besar seperti di Indonesia, ya. Salah satu satu masjid yang ramai dikunjungi di Bulan Ramadan yang ada di kota Warsawa, luasnya kurang lebih hanya 4 x 7 meter saja atau sebesar musola di Indonesia.
Itulah mengapa karena saking ramainya orang yang berbuka puasa dan beribadah di sana, salat maghrib berjamaah yang harus dilakukan secara bergilir sekitar 3 kali sesi atau lebih.
Menurut Raynaldi, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Vistula University, ia sering datang ke masjid karena menu buka puasanya yang enak dan ganti-ganti setiap hari. Salah satu menu yang disajikan di masjid tersebut adalah nasi kebuli dengan lauk olahan semur berisi daging sapi dan kentang, yang juga disajikan dengan potongan roti, yogurt dan kurma.
Sulit untuk Salat Tarawih di Paris
Tak jauh berbeda dengan di Inggris, berpuasa di Paris, Prancis, saat musim panas juga berlangsung lebih lama dibandingkan dengan di Indonesia. Pedcawanto yang sedang menempuh studi masternya di jurusan Bisnis Telekomunikasi, Télécom Ecole de Management, harus berpuasa selama 19 jam mulai dari pukul 3 pagi hingga 10 malam.
Namun, tidak hanya itu yang berat dari menjalani puasa di Paris saat musim panas. Cuaca di musim tersebut juga sangat terik, yaitu antara 35 – 40 derajat, yang membuat rasa haus jauh lebih terasa saat harus beraktivitas di siang hari.
Lalu, karena Prancis merupakan negara minoritas muslim, tidak banyak masijd yang menyelenggarakan salat tarawih berjamaah di sana. Di kota tempat tinggal Pedca saja, hanya ada satu masjid besar yang bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 20 menit. Namun, salat tarawih dilakukan cukup larut malam sehingga sulit untuk terus melakukan salat jamaah setiap hari.
Mahasiswa Belgia Masak Sendiri agar Semangat Berpuasa
Meskipun umat Muslim menjadi minoritas di Belgia, tetapi menurut Jeri At Thabari.yang berkuliah di Ghent University, ia dikelilingi oleh banyak orang yang sangat toleran dengan dirinya yang sedang menjalani puasa.
Bahkan, mereka mengungkapkan kekagumannya kepada Jeri karena mampu tidak makan dan minum sepanjang hari. Saat dirinya berpuasa, rekan-rekannya juga tidak segan untuk pindah tempat saat mereka harus makan siang.
Karena tidak banyak orang yang menjalani puasa Ramadan, tentu saja nuansanya berbeda. Namun, Jeri yang jauh dari rumah tetap ingin melakukan mengikuti tradisi meugang dari wilayah asalnya, Aceh.
Meugang adalah tradisi memasak makanan berbasis daging untuk merayakan datangnya Ramadan. Untuk itu, dia harus harus bertualang sendiri ke toko-toko Asia atau India di Gent untuk membeli sedikit daging yang untuk dimasak dan disimpannya di dalam freezer, agar bisa dinikmati sewaktu-waktu selama Ramadan.
Jeri juga mengaku cukup kebingungan menyiapkan makanan sahur karena harus disiapkannya sendiri. Jika tidak sempat menyiapkan nasi dan sayur, ia biasa membuat alternatif cepatnya, yaitu sandwich, atau yang sering menjadi penyelamat: mi instan.
Berpuasa bersama Komunitas Muslim Indonesia yang Kuat di New York
Jumlah umat Muslim di New York, Amerika Serikat, mungkin sudah semakin meningkat saat ini. Namun, menurut Safira Andriani, mahasiswa S2 di Columbia University, suasana bulan Ramadan di sana tentu saja berbeda dengan di Indonesia.
Tidak ada hiasan meriah di jalan, orang-orang yang berjualan takjil, atau bahkan iklan-iklan di televisi yang bernuansa Ramadan. Meski begitu, Safira tetap merasakan kehangatan Ramadan karena ia sering mendapatkan ucapan selamat berpuasa dari rekan-rekan dan bahkan orang yang tidak dikenalnya.
Komunitas muslim Indonesia di New York juga kuat. Di daerah Queens, ada masjid bernama al-Hikmah yang selalu menyediakan takjil dan makanan berbuka, serta menyelenggarakan tarawih bersama setiap harinya. Bahkan, di 10 hari terakhir Ramadhan juga akan diadakan i’tikaf bersama.
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di New York juga rutin mengadakan buka bersama, untuk orang-orang Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengobati rasa rindu orang-orang Indonesia, termasuk para mahasiswa, kepada tanah air dan sekaligus juga untuk menjalin silaturahmi.
Itulah pengalaman puasa Ramadan para mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di luar negeri. Meskipun mungkin tidak semudah menjalaninya seperti di negara sendiri, tetapi ini pasti menjadi pengalaman yang tidak akan dilupakan seumur hidup.
~Febria