5 Cara Efektif Mengatasi Anak yang Terlalu Keras Pada Dirinya Sendiri
Semua orang tua pasti ingin anak-anaknya merasa bahagia dan percaya diri dengan dirinya sendiri. Orang tua juga mengharapkan anak-anaknya memiliki harga diri yang sehat.
Namun, pada titik tertentu dalam hidupnya, anak mungkin mulai mengatakan hal-hal negatif tentang dirinya sendiri. Ini tentu saja akan membuat orang tua khawatir.
Pernyataan negatif yang diutarakan anak bisa mengenai penampilan fisiknya, prestasi akademiknya, kemampuan atletiknya, interaksi dengan teman sebayanya, atau bahkan keberadaan dirinya secara keseluruhan.
Pada dasarnya, memang ada beberapa anak yang terlalu keras terhadap dirinya sendiri. Di sinilah peran penting orang tua untuk mengatasi tersebut dan membantunya belajar untuk menjadi lebih lembut terhadap diri sendiri.
Berikut ini adalah beberapa cara paling efektif yang disarankan oleh psikolog anak Dr. Ann-Louise untuk membantu anak yang terlalu keras pada dirinya sendiri.
1. Biarkan Anak Berjuang
Berikan ruang untuk anak. Biarkan dia tahu bahwa tidak apa-apa untuk berjuang karena itu tidak akan terjadi selamanya.
Anak-anak tidak memiliki kemampuan untuk berpikir terlalu jauh ke masa depan sehingga mereka menganggap apa yang dialaminya saat ini terasa selamanya. Jadi, ikutlah berjuang bersamanya.
Katakan pada anak, “Mama dan papa selalu ada sini bersamamu.”
Ini membuat anak tahu kalau orang tuanya akan selalu ada untuknya dan apa yang dirasakannya tidak terlalu berat untuk ditangani oleh kedua orang tuanya.
2. Ajari Keterampilan yang Kurang Dikuasai Anak
Beberapa anak tidak pernah puas dan bersikap keras terhadap diri sendiri karena terus-menerus merasa gagal memenuhi harapan yang ditetapkan. Jadi, penting untuk membekali kemampuan anak di bidang tersebut.
Setelah tahu mengapa anak merasa seperti itu, bekali dia dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatasi perjuangannya di masa depan.
Misalnya, jika anak terlalu keras terhadap nilai akademiknya, mungkin dia membutuhkan seorang tutor, waktu tambahan dengan guru, atau bergabung dengan kelompok belajar teman sebaya.
Anak akan cenderung tidak menyalahkan diri sendiri jika benar-benar memiliki keterampilan untuk mengatasi kesulitan tersebut.
3. Gunakan Bahasa yang Membesarkan Hati
Daripada mengatakan hal-hal buruk atau mengancam anak, gunakan bahasa yang lebih membesarkan hati sehingga dia bisa mulai menggunakan bahasa yang sama untuk dirinya sendiri.
Orang tua bisa dapat mengatakan, “Kamu sekarang memang belum bisa melakukannya, tapi Mama percaya kamu pasti bisa.”
Jadi, jika ingin membesarkan hati anak agar dia bisa berbicara baik tentang dirinya sendiri, dia perlu mendengarnya terlebih dahulu dari orang dewasa dalam hidupnya.
4. Dorong Anak untuk Menerima Rasa Tidak Nyaman
Anak-anak sering menerima pesan bahwa perasaan tidak nyaman itu buruk. Jadi, mereka berusaha keras untuk menyangkal, mengabaikan, atau mengalihkan perhatian mereka dari perasaan tersebut.
Mereka juga mungkin mengartikan perasaan tidak nyaman tersebut sebagai tanda bahwa dirinya tidak baik atau tidak bagus dalam beberapa hal. Perasaan ini juga dapat muncul sebagai kebosanan, kesepian, kesedihan, penolakan, atau kecemasan.
Kebanyakan orang yang tidak menyukai perasaan-perasaan ini, mencoba untuk melewatinya atau mengatasinya secepat mungkin.
Padahal, sebenarnya tidak ada perasaan yang buruk. Perasaan adalah bagian dari pengalaman manusia. Jadi, tidaklah mungkin untuk mematikan beberapa perasaan dan membiarkan perasaan yang lain tetap utuh. Itu bukanlah cara kerja perasaan.
Mematikan beberapa perasaan berisiko mematikan perasaan sepenuhnya atau kehilangan kemampuan untuk menguraikan perasaan seseorang yang sebenarnya.
Orang tua bisa mengatakan, “Mama tahu tidak enak merasa kesepian. Yuk, coba duduk bersama dengan perasaan itu sebentar saja. Coba kamu gambarkan bagaimana rasa kesepian itu dan di mana merasakannya dalam tubuh.”
5. Contohkan Pemikiran yang Fleksibel
Mengetahui kapan harus melakukan penyesuaian yang diperlukan tidak semudah kedengarannya. Namun, pembicaraan diri yang negatif cenderung membuat anak terjebak dalam lingkaran komunikasi yang negatif.
Jadi, coba katakan pada anak, “Daripada kamu mengatakan hal-hal negatif tentang diri sendiri, lebih baik coba pikirkan mengapa kamu tidak mendapatkan nilai yang diinginkan dalam ujian tadi.”
Ini memberikan pesan kepada anak bahwa meskipun ini adalah masalah, ada cara lain untuk menangani situasi tersebut selain bersikap keras pada diri sendiri.
6. Bantu Anak Belajar Toleransi terhadap Frustrasi
Toleransi terhadap frustrasi adalah kemampuan untuk mengatasi masalah yang menantang dan akhirnya menemukan solusinya. Membangun toleransi terhadap frustrasi bisa membantu membangun perkembangan emosional dan sosial anak.
Berikan kesempatan kecil bagi anak untuk berlatih melewatkan tujuannya, gagal dalam mengerjakan tugas, atau tidak memenuhi harapan tanpa ditegur atau dibantu oleh orang tua untuk mengatasinya.
Biarkan anak bekerja melalui perasaan frustrasi dan kemudian belajar bagaimana menoleransinya. Mulailah dari hal kecil jika ini sulit dilakukannya, lalu buatlah yang lebih menantang.
Permainan adalah cara yang bagus untuk membangun keterampilan ini karena anak akan belajar untuk bergiliran, mengatasi perasaan saat kalah atau menang, dan mempraktikkan cara-cara yang lebih adaptif untuk berinteraksi dengan orang lain.
Sumber:
https://www.pbs.org/parents/thrive/most-effective-ways-to-help-kids-who-are-too-hard-on-themselves
~Febria